27-09-2022
Bahkan saat kita beli rokok-pun kita juga bayar pajak. Atau saat beli kebutuhan sehari-hari. Melalui bermacam rute, kita akan banyak masuk dalam situasi: sedang membayar pajak. Tentu juga bagi yang sedang membayar pajak penghasilan, tiap bulan atau baru ‘ribet’ menjelang bulan Maret. Pengelola negara, baik birokrasi maupun pejabat-pejabatnya, dibiayai oleh rakyat melalui bermacam pajak. Maka wajar pula apapun yang keluar dari pejabat-pejabat negara, rakyat mempunyai hak untuk memperbicangkan, untuk mengajukan kritik, bahkan jika tanpa solusi sekalipun. Bukankah bermacam pajak itu juga untuk membiayai para cerdik-pandai untuk mencari solusinya? Tentu jika kritik dibarengi dengan solusi akan lebih baik, tetapi jika tanpa solusi juga bukan berarti kritik yang diajukan kemudian menjadi ‘kelas rendahan’.
Maka komunikasi antara pejabat negara dan para pembayar pajak adalah sangat penting. Menurut Albert Mehrabian, komunikasi antar dua orang akan dipengaruhi oleh isi dari perbincangan, kemudian intonasi, dan bahasa tubuh. Tetapi dalam bahasa tubuh-lah pengaruh terbesar terkait bagaimana ‘keberhasilan’ komunikasi itu akan terhayati. Baru kemudian faktor intonasi, dan terakhir justru ‘isi’ dari apa yang mau disampaikan itu. Tentu selain hal-hal di atas, bisa ditambahkan faktor-faktor lain, ‘konteks’ pembicaraan, misalnya.
Yang banyak seliweran di media-sosial akhir-akhir ini bisa menjadi bahan pembicaraan, yaitu komunikasi dari salah satu pejabat publik, pejabat negara: Ganjar Pranowo (GP). Yaitu saat menjawab pertanyaan terkait dengan insentif di ‘ranah-keagamaan’, dan dibandingkan dengan DKI. Memakai jas putih dan blangkon, GP menjawab pertanyaan. Soal ‘isi’ sebagian klaim atau ‘serangan’ GP sudah dengan begitu mudah dipatahkan oleh netizen. Komplit dengan bukti-bukti tak terbantahkannya. Telak. Tetapi bukan soal isi yang mau diperbincangkan di sini, meski itu juga sangat kuat untuk menggambarkan keseluruhan konteks pembicaraan. Tetapi adalah soal ‘bahasa tubuh’-nya.
Tentu setiap orang akan mempunyai gayanya sendiri-sendiri. Dan karena bisa-bisa saja itu menggambarkan keunikan masing-masing, perbincangan kemudian menjadi lebih dimungkinkan. Apa yang bisa diperbincangkan dari keseluruhan ‘bahasa tubuh’ GP di cuplikan video itu, dalam keseluruhan konteks pembicaraan saat itu? Semakin diulang-ulang melihat dan mendengar video itu kok rasa-rasanya menjadi semakin risih saja. Agak kesulitan untuk meng-istilahkan sebab-sebab mengapa justru perasaan risih yang menyeruak ke permukaan. Mungkin yang mendekati adalah: ke-kanak-kanak-an. Ke-kanak-kanak-an jelas bukan suatu dosa atau apalah itu, tetapi karena konteksnya adalah pejabat-negara, konteks ‘ke-publik-an’, ‘level’ ke-kanak-kanak-an itu bisa-bisa akan membuat perasaan (publik) menjadi gundah. Lihat misalnya Armin Laschet yang digadang-gadang sebagai pengganti Angela Merkel itu menuai kritik tajam karena perilaku ‘tak dewasa’-nya saat mendampingi Angela Merkel mengunjungi korban banjir bandang. Saat Merkel dengan seluruh empatinya berkomunikasi dengan korban, Laschet di belakang Merkel malah bersendau-gurau dengan yang disampingnya. Dan perilaku itu ikut tertangkap kamera. Tentu bersendau-gurau tidaklah dosa, tetapi konteks dimana itu sedang dilakukan akan ikut menentukan penghayatan publik akan sendau-gurau itu. Publik menjadi risih terhadap perilaku ke-kanak-kanak-an Armin Laschet saat itu. Dan lihat hasil akhir pemilihan, Laschet kalah dari Olaf Scholz yang dari segi sosoknya menampakkan diri jauh ‘lebih matang’, lebih tenang, dan nampak lebih ‘dewasa’ dari Laschet. *** (27-09-2022)