03-11-2022
Dalam A Study of History, Arnold J. Toynbee menandaskan bahwa peradaban berkembang karena adanya tantangan dan respon. Dan diantara tantangan dan respon itu ada si-‘minoritas kreatif’. Sering dalam bermacam ‘studi kasus’ kita mengambil bermacam tantangan yang berkembang sebagai titik berangkat. Tetapi, bukankah kita juga bisa belajar dari bermacam respon yang berkembang dalam menghadapi bermacam tantangan itu? Tidak setiap respon terhadap tantangan pasti tepat dan berhasil –dan dalam urusan publik maka mestinya ada pertanggung-jawaban publik juga, contoh mundurnya Liz Truss yang baru menjabat PM Inggris dalam hitungan minggu itu. Dia membangun respon dalam menghadapi tantangan berupa krisis –terutama krisis ekonomi, justru berakibat semakin dalamnya krisis. Judul adalah soal ‘ijazah palsu’ yang sempat mencuri perhatian banyak pihak karena yang digugat adalah Joko Widodo -kebetulan adalah juga seorang presiden. Bukan soal benar-tidaknya ‘kepalsuan’ ijazah itu dalam kesempatan ini, tetapi adalah soal respon dari gugatan tersebut.
Gugatan soal ‘ijazah palsu’ itu sebenarnya gugatan atas ‘pribadi’ Joko Widodo, bukan sebagai pejabat publik. Tetapi ‘nuansa kepublikan’ jelas tidak bisa dicegah, apalagi yang digugat sedang menjabat sebagai presiden, salah satu jabatan publik. Meski begitu, seluas apapun melebarnya di ranah publik, tetaplah tidak mengubah sama sekali ‘inti masalah’, hal ‘privat’ yang sedang digugat di pengadilan. Dalam urusan ‘privat’ semestinya hal efisiensi mendapat tempat penting, tanpa banyak ‘konflik kepentingan’-nya. Beda dengan urusan di ranah publik, benturan antara efisiensi dan berkeadilan akan banyak menguras energi dalam hal timbang-menimbang. Term ‘efisiensi-berkeadilan’ dalam amandemen UUD 45 itu sebenarnya bisa banyak mengundang perdebatan lebih dalam. Tetapi dalam ranah ‘privat’, soal efisiensi tidaklah terlalu mengundang perdebatan. Maka ketika hal ‘privat’ masuk dalam gugatan pengadilan, langkah pertama adalah mencari bantuan hukum yang sayangnya memang, ia harus keluar biaya sendiri. Atau kalau tidak punya uang ia bisa mencari lembaga bantuan hukum yang punya ‘program’ pro bono-nya. Atau kalau punya kapasitas, siapa tahu sistem pengadilan memungkinkan ia sebagai tergugat bisa sekaligus sebagai pengacara yang akan membela dirinya sendiri.
Yang paling efisien dalam menuntaskan gugatan seperti di atas adalah sangat sederhana, di pengadilan begitu sidang pertama kali digelar, ia datang bersama penasehat hukumnya dengan membawa bukti-bukti tak terbantahkan bahwa ijazahnya adalah ijazah asli, dan sama sekali tidak palsu. Pihak penggugat tentunya tidak asal gugat saja, iapun akan mengajukan bukti-bukti bahwa ijazah itu adalah palsu, dan sama sekali tidak asli. Maka akan dihadirkan dalam sidang saksi-saksi ahli yang misalnya akan melakukan uji forensik dari bermacam alat bukti itu. Juga terhadap dokumen-dokumen pendukungnya. Juga saksi-saksi yang langsung berkaitan dengan terbitnya dokumen ijazah.
Tetapi hal-hal di atas tidaklah terjadi, yang muncul dari pemberitaan adalah tiba-tiba saja ada reuni-an dimana peserta reuni membawa foto-copy ijazahnya, dan ramai-ramai ditunjukkan pada publik. Atau lihat seorang rektor universitas ternama itu tiba-tiba saja menjadi begitu ‘amatir’-nya terkait soal bukti-pembuktian. Seorang dokter misalnya, ia akan mengembangkan imajinasi penyakit pasien melalui rute evidence-base. Apa-apa yang disampaikan oleh pasien merupakan salah-satu titik berangkat saja untuk membangun pemahaman yang tepat melalui bermacam evidence yang ditemukan selama pemeriksaan lebih lanjut. Rektor dan jajarannya itu tiba-tiba saja menjadi lupa mengapa ia hidup dan berkembang dalam sebuah perguruan tinggi. Mengapa tidak diperlihatkan saja bukti otentik –the truth of correctness, yang mendukung bahwa ijazah yang dipermasalahkan itu tidak palsu? Dan masih banyak lagi hal-hal ‘di luar pengadilan’ yang justru membuat kasus ‘ijasah palsu’ ini menjadi semakin kabur saja. Bahkan group Metallica itu-pun dibawa-bawa pula. Sebuah tontonan in-efisiensi yang justru menjauhkan dari rasa ‘berkeadilan’.
Jika ada yang mengatakan, terjun ke dunia politik itu sebaiknya ‘sudah selesai dengan dirinya’, dan itu lebih dihayati sebagai ‘yang sudah cukup dalam menghidupi diri dan keluarga’, maka dari kasus di atas kita bisa belajar bahwa itu tidaklah cukup. Atau bahkan terhayati secara salah seperti disebut di atas. ‘Selesai dengan dirinya’ itu nampaknya lebih bermakna sebagai yang mampu dan mau membedakan secara tegas mana ‘hal privat’ dan ‘hal publik’. Ketika pejabat publik tidak mampu dan mau membedakan secara tegas mana hal privat dan mana hal publik, salah satu dari kemungkinan penampakannya adalah seperti di atas, tontonan in-efisiensi yang menjauh dari rasa berkeadilan itu. Bahkan itu sebelum terlibat dalam hal timbang-menimbang yang mendalam antara efisiensi dan berkeadilan itu. Maka tidak mengherankan pula apa-apa yang disebut sebagai ‘pertanggung-jawaban publik’ serasa semakin tipis saja. Bahkan sangat mungkin semakin tidak dikenal lagi. Bagaimana res-publika akan maju jika soal ‘tanggung-jawab publik' tidak dikenal? Bukan res-publika namanya, tetapi res-sontoloyo! Semau-maunya sendiri. *** (03-11-2022)