02-06-2021
Kreatifitas letaknya ada dalam ‘waktu yang dialami’, dan bukan pada ‘waktu kalender’-nya. Ditambah dengan hadirnya ‘elan vital’ maka kreatifitas akan mendapatkan kemungkinan besarnya, demikian kira-kira yang ingin dikatakan Bergson di sekitar awal abad 20. Kreatifitas akan kesulitan naik ke permukaan jika katakanlah kita belajar dengan ‘sistem kebut semalam’ karena tanggal 27 besok itu ada ujian, misalnya. Atau coba kita lihat ketika seorang anak yang sejak kecil sudah ada di sekitar toko, besar dikit ikut-ikutan menata ini-itu, lebih besar lagi ikut jualan, dan tiba-tiba saja ia sudah pandai jualan. Dan mempunyai keinginan besar meluaskan tokonya, menambah ini dan itu, atau membuat jaringan baru. Dan seterusnya.
Ada yang membedakan antara ‘waktu subyektif’ dan ‘waktu obyektif’. Bayangkan, sama-sama jika diukur dengan jam lamanya adalah 30 menit, tetapi akan berbeda dalam penghayatan subyektifnya antara menunggu sahabat di UGD sedang ditangani karena kecelakaan dengan saat ngobrol bagaimana Chelsea mengalahkan Manchester City di Liga Champions kemarin, dengan para sahabat. Apa-apa yang dialami oleh khalayak selama pandemi ini jelas akan memberikan endapan-endapan memori tersendiri. Juga bermacam peristiwa ikutannya. Bahkan terlebih sengkarut bermacam olah korupsi di tengah pandemi itu. Atau telikungan licik meloloskan undang-undang yang mbèlgèdès itu di tengah-tengah khalayak sedang terhimpit ganasnya wabah. Dan bermacam tingkah-polah kelas medioker dari para pemimpinnya. Waktu yang dirasa begitu lambat selama pandemi ini masih ditambah lagi carut-marut-nya republik dikelola. Maka ‘kreatifitas’ khalayak dalam menjalani hidup bersama-pun akan semakin diperkaya. Lihat misalnya, bagaimana banyak hal dari media sosial muncul bermacam argumen, analisa, atau strategi bertahan hidup, apapun itu, yang mengindikasikan bahwa waktu sebagai ‘waktu yang dialami’ itu membuka banyak kemungkinan. Apalagi ditambah hadirnya ‘elan vital’, baik dalam ‘ranah’ hidup pribadi maupun hidup bersama.
Maka beredarlah ‘waktu kalender’ 2024 itu. Tiga tahun yang akan datang! Padahal pandemi-pun masih terasa keras denyutnya dalam pengalaman sehari-hari. Carut-marut korupsi dan upaya pemberantasannya masih merupakan bagian pengalaman yang memuakkan bagi khalayak. Belum kesulitan ekonomi yang tak kunjung lepas dari hidup sehari-hari. Itulah salah satu ‘kegelapan’ kekuatan uang. Termasuk ia bisa ‘membeli waktu’ semena-mena, melalui media partisan, melalui pengamat-siap-bayar, atau relawan-siap-bayar-nya. Atau bayaran-bayaran lainnya. Demi terutama menyelamatkan ‘kreatifitas’ maling, ngunthet, ngemplang, ngutil, nguntal, mark-up, data ganda, data fiktif, pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong mereka. Rusak-rusakan. Maka berserulah anak-anakku, pengikut-pengikutku: “Marhaen Jayaaaaaaaaa ...!” *** (02-06-2021)