10-10-2021
Berpikir itu mendahului bahasa. Orang berpikir lebih dahulu baru berbahasa. Bahwa jelas juga meski dengan bahasa kita akan juga mengembangkan kemampuan berpikir tetapi tidaklah kemudian bisa dikatakan orang berbahasa lebih dahulu, baru berpikir. Dalam banyak hal bisa juga dikatakan bahwa etika itu mendahului hukum. Ketika dikatakan bahwa menaati hukum dengan konsekuensi jelas saja tidak bisa, apalagi mengikuti etika yang konsekuensi sangsinya bahkan sulit dituntut, seakan itu pernyataan benar adanya. Tetapi jika kita betul-betul ingin menegakkan hukum, bukankah kita bisa meraba, misal contoh yang sering beredar: pemimpin yang tidak tahu etika itu apakah bisa benar-benar diharapkan akan taat hukum?
Dalam banyak hal, terutama dampak jangka panjangnya, kiranya akan lebih bermanfaat jika kita menghayati bahwa etika itu mendahului hukum. Lihat misalnya bagaimana etika itu dalam beberapa ranahnya kemudian mewujud sebagai ‘kode etik’ atau code of conduct itu, yang itu selain melekat pada dinamika kehidupan dalam ranah tersebut ia akan secara aktif akan menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pembelajaran pula. Kode etik, dari segi sangsinya akan selangkah lagi tidak jauh berbeda dari sangsi hukum. Penghayatan hukum ‘yang terdukung’ ia perlu syarat mutlaknya, mampu menghayati soal etika. Tentu ini belum cukup, belum mencukupi, ia perlu aparat penegak hukum yang mak-nyus juga. Atau bisa dikatakan, untuk tegaknya hukum dalam hidup bersama, penghayatan soal etika lebih merupakan prasyarat sosial, sedang aparat penegak hukum sampai dengan yang tertinggi adalah prasyarat politis dan teknisnya. Atau jika masyarakat sipil itu adalah ada di antara keluarga dan negara, etika akan lebih dikembangkan dalam masyarakat sipil (dan juga keluarga), sedang aparat penegak hukum ada di ranah negara.
Apakah di ranah negara kemudian tidak ada etika? Tentu ada, hanya saja ia akan ada seakan karena ‘dipaksa’ oleh masyarakat sipil dengan ancaman sangsi sosialnya. Dalam praktek etika sering lebih dari soal baik-buruk, tetapi pada pilihan-pilihan baik-kurang baik, atau buruk-lebih buruk. Dan itu akan melibatkan hal timbang-menimbang. Masalahnya dalam hal timbang-menimbang ini, di masyarakat dengan power distance tinggi atau dalam masyarakat dengan nuansa feodalisme masih tinggi, atau katakanlah relasi patron-klien masih kuat, bisa-bisa akan mengalami ‘hambatan’ yang tidak kecil dalam mengembangkan diri. Bisa-bisa akan terjadi ‘lingkaran setan’ yang sulit diputus. Karena kondisi di atas ujung-ujungnya adalah sulitnya memberikan sangsi sosial terutama terhadap penguasa, atau sang patron yang ‘kebetulan’ saja terus menjadi ugal-ugalan. Dan penguasa atau sang patron menggunakan situasi tersebut, atau kalau bisa ‘melanggengkan’ kondisi tersebut sehingga ugal-ugalannya bisa langgeng pula. Dan karena penguasa atau patron bisa-bisa menjadi ‘model’ bagi kebanyakan khalayak maka semakin jauh pula penghayatan atau berkembangnya etika dalam hidup bersama.
Etika dalam praktek akan erat terkait dengan keutamaan (virtue). Atau supaya etika dapat dirasakan dalam praktek, ‘kualitas diri’ tertentu memang rasa-rasanya diperlukan. Dan karena etika akan melibatkan hal timbang-menimbang, keutamaan kebijaksanaan (prudence) semestinya perlu dikembangkan dalam diri. Jika ditarik lebih jauh lagi maka akan bisa kita jumpai soal pentingnya pendidikan berpikir tersebut, pendidikan logika. Hal yang bisa saja kurang menarik ketika pendidikan lebih diabdikan pada kebutuhan pasar (tenaga kerja). Terlebih lagi jika nuansa rejim adalah otoriter. Maka memang bisa dipahami logika menjadi bagian penting dalam pendidikan trivium: grammar, rhetoric, logic, dimana model pendidikan tersebut dimaksudkan memang untuk ‘pembebasan’ manusia. *** (10-10-2021)