01-03-2022
Boleh dikatakan, wacana 3 periode atau penundaan pemilihan umum yang beredar dan semakin ‘memanas’ akhir-akhir ini adalah ‘puncak benturan’ selama era Reformasi. Wacana yang membuat cita-cita Reformasi dan realitas yang berkembang seakan menemui jurang terlebar dan terdalamnya. Dan itu adalah sebuah krisis. Masalah akan timbul ketika ada gap antara harapan dan realitas. Tetapi ketika jarak itu tidak hanya begitu lebar tetapi juga dalam, maka masalah bisa terhayati sebagai krisis.
Sejarah memberitahukan pada kita bahwa ketika kuasa terlalu lama dipegang maka ia cenderung akan ‘ringan tangan’. Terlebih jika oposisi –dalam arti partai oposisi maupun dalam arti luasnya, terasa ‘jomplang’ kekuatannya. Kuasa yang seakan ‘tidak ada matinya’ itu sangat potensial untuk menjauh dari sikap ‘otentik’. Semakin jauh dari kedalaman hal timbang-menimbang. Salah satu contoh yang sering nampak, kuasa menjadi ‘ringan tangan’ itu. Dan akhirnya ia akan kehilangan akarnya. Dalam ranah demokrasi, akar terdalam dari seorang terpilih adalah rakyat. Tercerabut dari akarnya adalah misal melihat rakyat yang dipimpinnya itu sekedar angka-angka statistik. Bahkan angka-angka yang siap dimanipulasi oleh para pollsterRp bangsat-laknat-khianat itu. Atau yang lebih buruk, rakyat kebanyakan dipandang hanyalah kumpulan hamba-hamba, bahkan bisa-bisa: ‘jongos’-nya saja, meminjam istilah Emha bertahun lalu. Para ‘jongos’ yang bodoh semua.
Yang paling mendasar dari demokrasi adalah soal ‘kematian’, artinya dimungkinkan adanya pergantian kekuasaan. Diingkarinya kemungkinan pergantian kekuasaan dalam demokrasi akan berdampak macam-macam, dan bisa-bisa tak terduga. Bikin banyak kalangan terkaget-kaget. Meski banyak yang mengatakan bahwa politik jauh dari soal kebetulan belaka. Rakyat dibutakan dengan perang misalnya. Baik perang dengan bangsa-rakyat lain, atau dengan sesama rakyat sendiri dalam bermacam bentuknya. Terpinggirkannya kemungkinan pergantian kekuasaan bisa-bisa harga yang harus dibayar sangat mahal. Luka-luka menjadi terasa lama sembuhnya. Berubah menjadi gangren yang tidak mudah untuk dikelola lagi. ‘Pengelolaan kuasa’ yang ugal-ugalan bisa-bisa gelapnya sejarahlah yang akan ditapak. Jika kemudian tetap dipaksa-paksa maka jangan-jangan sejarah tergelaplah yang menjadi plan-B-nya, pecah melalui rute kekerasan. *** (01-03-2022)