19-01-2023
Setiap rejim selalu akan ada ‘korban-korban politik’-nya. Tetapi korban-korban politik itu akan membesar ketika bermacam rejim itu mengalami pembusukan. Ketika rejim monarki berubah menjadi rejim tirani, korban-korban politik akan membesar, demikian juga ketika rejim aristokrasi berubah menjadi rejim oligarki. Ketika rejim demokrasi menjadi rejim mobokrasi, mob-rules, maka dapat dibayangkan korban-korban politik-nya akan membesar secara signifikan. Dari tersebarnya kuasa di bermacam kelompok,, bahkan individu, hidup bersama mau tidak mau perlu tata-kelola tertentu supaya, katakanlah, tidak jatuh pada situasi state of nature-nya Hobbes. Bermacam ‘percobaan’ tata-kelola kuasa sudah terlaksana, demikian sejarah mencatat. Dan banyak yang kemudian berpendapat bahwa rejim demokrasi adalah yang paling sedikit keburukannya dibanding rejim-rejim lainnya. Tentu boleh-boleh juga kemudian membayangkan bahwa dalam rejim demokrasi, ‘korban-korban’ politik-pun kemudian bisa dikatakan lebih sedikit. Dan bahkan yang merasa jadi ‘korban’-pun masih punya kesempatan untuk ‘membalikkan keadaan’. Karena esensi dari rejim demokrasi adalah dimungkinkan adanya ‘kematian’ rejim, artinya dimungkinkan adanya pergantian kekuasaan.
Dalam rejim demokrasi, diantara ‘lahirnya’ pengelola rejim dan kemungkinan ‘kematian’-nya akan ada rentang waktu ‘unjuk kualitas’. Kualitas dari pengelola rejim melalui keputusan-keputusannya, kebijakan-kebijakan dan eksekusinya. Kebijakan yang berkembang dari alasan-alasan mengapa ia ‘dilahirkan’ sebagai pengelola rejim, yaitu janji-janji kampanyenya. Dalam rejim monarki, ia ‘dilahirkan’ sebagai pengelola rejim karena faktor keturunan dan pernak-pernik sekitarnya, dalam rejim aristokrasi karena ia menjadi ‘yang terpilih’ karena bermacam keistimewaannya. Dalam rejim demokrasi, ia menjadi pengelola rejim karena memperjanjikan sesuatu jika ia terpilih. Maka sebenarnya kelahiran pengelola rejim tidak pernah lepas dari harapan. Janji-janji kampanye itu kemudian dapat dilihat sebagai ‘pulau kepastian’ di tengah gejolak samudera ketidak-pastian.
Maka ketika janji-janji kampanye itu secara brutal diingkari, ‘pulau kepastian’ itu seakan perlahan melenyap, dan hidup bersama seakan terjerembab di tengah ‘samudera ketidak-pastian’. Maka ‘harapan’-pun akan memudar, dan ‘harapan-baru’-pun perlahan menyeruak ke atas. ‘Harapan-baru’ yang dalam praktek adalah pergantian pengelola rejim. Bagaimana yang sedang mengelola rejim itu menghadapi situasi seperti ini? Jika tidak ingin pergantian rejim? Kemungkinan pertama ia akan ‘mengangkat-diri’ sebagai si-mono dalam monarki. Janji-janji yang melekat dalam diri itu menjadi tidak mungkin dipertanyakan lagi. Ia mengangkat-diri sebagai si-‘pulau kepastian’ itu sendiri. Jika ini dirasa kurang berhasil maka selangkah lagi ia akan menjadi si-tiran. Atau juga ia membuat ‘serial-pulau-kepastian’ secara periodik. Jelasnya, sekarang ngibul, nanti juga ngibul lagi, nanti-nantinya lagi, ngibul lagi. Toh kata Machiavelli, kebanyakan orang itu memang mudah ditipu. Tetapi 300 tahun kemudian Abraham Lincoln mengingatkan bahwa yang selama-lamanya bisa ketipu itu hanya sebagian saja. Sebagian besar yang pernah ketipu, ia akan sadar juga bahwa ia ternyata ditipu. Maka berkembanglah ‘industri’ propaganda itu. Bermacam rute-rute propagandanya, dan jelas itu tidak lepas dari bagaimana modus komunikasi berkembang.
Apa yang mau dikatakan di sini adalah, ‘kepakan sayap kupu-kupu’ –mengambil istilah butterfly effect, yang ingkar janji itu ternyata akan menyebabkan deretan ‘badai’ yang semakin membesar. Dan bahkan semakin mendekat pada ‘spiral-kekerasan’-nya Uskup Dom Helder Camara itu. Dan jika sudah masuk dalam spiral kekerasan itu, bisa dipastikan ‘korban-politik’ akan membesar secara signifikan. Maka bukan ‘politik identitas’ yang akan membawa korban politik dahsyat, tetapi ‘politik-ingkar-janji’-lah yang akan menjerembabkan hidup bersama ini dalam kegelapan. Dan perlu diingat, bagaimana berjuang menepati janji itu akan selalu melibatkan ‘perlawanan’ terhadap bermacam mentalitas mbèlgèdès seperti pernah diungkap oleh Koentjaraningrat sekitar 50 tahun lalu itu.[*] *** (19-01-2023)
[*] Lihat, http://www.pergerakankebang
saan.com/1069-Soledar/