16-01-2020
Semestinya judul tulisan juga bisa diganti misalnya, ‘Media Sosial’ diganti dengan ‘Televisi’, atau ‘Radio’, atau ‘Mesin Cetak’, atau bahkan ‘Bom Atom’. Atau juga diganti dengan kata ‘Demokrasi’, atau ‘Kemerdekaan’. Atau bahkan dengan kata ‘Kapitalisme’ dan ‘Komunisme’. Atau juga ‘Pancasila’. Siapa bilang bicara soal Pancasila tidak juga bicara soal ancamannya? Yaitu ketika misalnya Pancasila sebagai alat pukul? Atau sebagai tirai asap bagi laku korupsi yang gila-gila-an itu?
Berapa lama pada Jaman Batu manusia melihat adanya kesempatan ketika menemukan potongan batu yang tajam? Atau kalau kita lihat dalam film dokumenter tentang simpanse yang mampu menggunakan batu untuk memecah kulit keras buah. Tetapi batu runcing itu tidak hanya menyimpan kesempatan bagi manusia, ia juga bisa membunuh manusia lainnya juga. Nuklir tidak hanya memberikan kesempatan bagi manusia menuai energi besar, tetapi juga ancaman kemusnahannya. Juga bermacam standarisasi itu, ia memberikan bermacam keuntungan bagi hidup bersama, tetapi pada waktu bersamaan juga ‘menyingkirkan’ yang lain yang ada di luar ‘standar’ mereka.
Lalu bagaimana dengan bermacam bentuk ‘janus face’ itu? Yang menjadi ‘janus’ karena dalam diri kita ngendon bermacam hasrat itu? Dalam sejarah kita bisa melihat perjalanan, ‘eksperimen’-nya, bagaimana soal hasrat itu dikelola, dan terutama ketika kita lebih memilih hasrat vs hasrat? Kegilaan hasrat yang berujung pada perubahan iklim dengan segala akibatnya, dan hasrat akan keberlangsungan hidup yang ada dalam diri misalnya. Atau kegilaan hasrat dari para oligarki-pemburu rente itu dengan hasrat akan keberlangsungan hidup bersama, yang juga itu berarti hasrat keberlangsungan masing-masing warganya juga.
Hasrat kontra hasrat, atau sebenarnya di banyak dimensi hidup, selalu akan di’fasilitasi’ oleh kata, oleh bahasa. Atau kalau menyitir Heidegger, ia tetaplah terjadi dalam ‘rumah besar’ manusia, bahasa. Gejala hipokognisi bisa kita hayati juga seakan kita sedang tidak hidup di ‘rumah besar’ itu. Dan itu bisa saja tidak hanya menggelisahkan, tetapi juga menakutkan. Yang jika terus berlanjut, seperti binatang yang ketakutan ketika terpojok, ia bisa melakukan apa saja. Dari fatalisme dengan melakukan bunuh diri seperti ditunjukkan oleh Robert Levi dengan penelitiannya di Tahiti di sekitar tahun 1970-an terkait dengan tingginya angka bunuh diri di sana waktu itu. Atau juga sampai dengan amok, misalnya?
Bahasa tentu tidak lepas dari ‘basis material’-nya juga. Dan dengan itu juga sedikit banyak kita bisa menunjuk bahwa ada proses berpikir di situ. Bagi manusia, berpikir adalah mendahului bahasa. Bahwa kemudian bahasa akan semakin merangsang keberpikiran, tidaklah kemudian menghapus bahwa berpikir itu mendahului bahasa. Kenapa kita sampai pada soal bahasa dan berbahasa ini? Adalah keprihatinan besar terhadap kondisi yang berkembang hampir sewindu terakhir ini. Ketika bahasa dipermainkan secara ugal-ugalan.
Dalam politik, mempermainkan bahasa dengan modus tipu-tipu adalah biasa. Atau dengan gertak. Dan itu tidaklah akan merusak ‘rumah besar’. Ada karya sastra yang berkembang, ada seni musik dan lainnya yang ikut merawat dunia simbol yang di sana-sini mengalami keretakan karena gejolak hasrat itu. Masalahnya sekali lagi, adalah soal batas. Tahu batas. Bagai bumi yang mungkin sudah mendekati batasnya untuk menyangga kehidupan jika tidak juga segera sadar akan polutan yang dihasilkannya. Sewindu terakhir dan sekarang nampaknya kita semakin mendekati batas itu. Batas ketika ‘rumah besar’ itu sudah mengalami keretakan yang mengaga. ‘Rumah besar’ bahasa. Bukan sopan-santun, meski ini juga penting, bukan kasar-halus, meski ini juga penting, tetapi adalah masalah kredibilitas. Orang berbahasa tanpa kredibilitas adalah soal ngobrol, atau bahkan saat ngibul. Saat yak-yak-o bagai seorang ahli sepak bola saat menganalisa mengapa MU sampai digebuk babak belur oleh Chelsea, misalnya. Adalah juga soal glécénan, slèngèkan, dan sejenisnya. Dan itu tidak masalah. Hidup pastilah ada soal-soal itu juga. Tertawa, geli, jengkel, atau bahkan menangis. Tidak masalah. Masalahnya adalah jika kita sama sekali tidak pernah pada titik tertentu berhenti sejenak. Dan ini tidaklah mungkin, karena pada titik tertentu dalam hidup kita tentu akan menemui bahwa dunia tidak sekedar ngobrol belaka. Bahasa untuk membuat keputusan yang bisa saja mempengaruhi hidup kita selanjutnya. Dan dalam ‘hirarki’ kepemimpinan, semakin tinggi seorang pemimpin ia akan menemui bahwa moment itu akan semakin rapat jaraknya. Maka untuk itulah tidak semua orang mau menjadi pemimpin yang semakin tinggi. Ia akan banyak kehilangan waktu untuk ngobrol, ngibul, atau tertawa dan geli. Atau memang tidak semua orang mampu untuk menjadi pemimpin yang semakin tinggi. Tentu dari beberapa hal di atas bisa juga dikatakan semua orang adalah pemimpin, karena pada saat tertentu ia harus menjadi seorang ‘pemimpin’ yang memutuskan. Paling tidak untuk dirinya sendiri. Untuk keluarganya. Untuk kelompok-dekat-nya. Dan seterusnya.
Dalam konteks ‘menegara’ kita akan menemui lagi peran sentral dari bahasa, dari kata-kata. Karena pada dasarnya ‘menegara’ itu adalah sebuah dialog. Ketika penghayatan manusia lebih mudah menapak dari ‘situasi negatif’-nya, dialog dalam konteks ‘menegara’ itu mestinya akan membantu mengurai ‘situasi-situasi negatif’ yang sedang dihayati kebanyakan orang. Masalah menjadi lebih rumit jika dikaitkan dengan adanya ‘pakta dominasi’. Di republik, pakta dominasi itu dapat dirasakan dipegang dan dipegang semakin kuat di tangan komplotan oligarki-pemburu rente. Dan bagaimana nasib ‘bangunan atas’ ketika basis material ini didominasi oleh ‘hubungan produksi’ oligarki-pemburu rente? Penghayatan akan ‘situasi-situasi negatif’-lah yang sebenarnya dihindari oleh para oligarki-pemburu rente yang ada di basis material ini. Atau tepatnya, penghayatan akan ‘situasi-situasi negatif’ yang akan muncul dalam berbagai bentuk simbol, salah satu yang utama: dalam bahasa. Maka akan ada dua sasaran bidiknya, yang nampak adalah soal bahasa. Dan di belakang yang absence, ke-berpikir-an. Yang satu dengan ujung tombak (sayangnya pada) yang mempunyai capital tinggi atau bahkan tertinggi dalam konteks pemikiran Bourdieuan, yang satu soal olah manipulasi menuju fanatisme. Sebuah perjalanan ‘habitus baru’ (mohon maaf pada monsinyur) yang sungguh mbèlgèdès.
Keprihatinan semakin membesar ketika batas semakin dekat. Dan batas itu adalah ketika cara purba yang kembali menjadi fakta potensial akan mengisi lubang besar yang menganga di ‘rumah besar’ bahasa, dan itu adalah bentrok. Dalam arti harafiah. Ketika simbol-simbol utama (bahasa) itu sudah terkikis habis dalam diri animal symbolicum, maka yang tersisa adalah ke-animalitasannya saja. Dengan segala gejolak hasratnya. Inilah harga yang harus dibayar republik ketika ke-plonga-plongo-an terus saja menyesaki udara republik. Mikir, cuk! *** (16-01-2019)