www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-02-2019

Dari bermacam yang muncul tepat dihadapan publik selama bertahun terakhir di satu republik, kita bisa merasakan hal kuat yang semakin jelas. Hal tersebut adalah adanya sebuah postulatmilik ‘mereka’ tentunya, yang dengan adanya postulat itu kita bisa menjadi lebih paham mengapa bermacam hal itu secara ‘koheren’ dan ‘konsisten’ hadir ‘bergelombang’ muncul di hadapan kita semua. Bagai sebuah orkestra, bermacam ‘figur publik’ itu misalnya, sedang memainkan partitur-partitur di depannya, dan judul simponinya adalah : ”Yang Bodoh dan Yang Mudah Disogok”.

Kecurigaan akan hadirnya postulat semacam di atas bukanlah mengada-ada. Cobalah kita buka lagi buku karangan Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native [i], terbit sekitar 40 tahun lalu itu. Buku yang menyoroti soal bagaimana konstruksi mitos terkait dengan adanya lazy natives terlibat atau dilibatkan dalam background kegelapan kolonialisme. Dan konstruksi mitos itulah yang dipakai oleh penjajah paling tidak untuk legitimasi dominasi mereka, selain juga sebagai salah satu taktik-strategi ‘nggembosi-tanpa-putus’ potensi dari si-terjajah.

Adanya postulat ‘yang bodoh’ membuat kita semakin paham mengapa tipu-tipu itu bisa hadir di ruang publik dengan begitu telanjangnya. Apalagi ditambah dengan merasa bahwa hampir semua media mainstream ada dalam genggaman. Paling tidak ada keyakinan bahwa argumen ‘kontra-tipu-tipu’ tidak akan muncul secara luas melalui media mainstream. Berbagai upaya membangun citra dengan berkali-kali melakukan hal ‘konyol’ atau ‘ndèk-ndèk-an’ misalnya tentu tidak lepas dari adanya postulat ‘yang bodoh’ ini dalam imajinasi ‘mereka’. Maka ketika di luar ‘mereka’ di-postulat-kan sebagai ‘yang bodoh’, secara tidak sadar (atau dengan kesadaran penuh?) perlahan menyelusup dalam alam pikir ‘mereka’ bahwa republik itu terdiri dari dua segmen manusia, ‘yang tidak bodoh’ adalah ‘mereka’, dan ‘yang bodoh’ yaitu di luar ‘mereka’. Apakah mem-postulat-kan sebagai ‘yang bodoh’ di luar ‘mereka’ itu melanggar hukum? Tentu tidak, dan itulah mengapa ‘mereka’ tidak pernah merasa sungkan.

Berbeda dengan postulat ‘yang bodoh’, postulat ‘yang mudah disogok’ ini bisa nyrèmpèt-nyrèmpèt rambu-rambu hukum. Sogok-menyogok yang melibatkan satu-dua-tiga-empat orang mungkin hanya akan melibatkan rekening atas nama orang gila, atau di pojok sebuah kafe. Tetapi ketika dioperasikan secara ‘massal’ maka ia perlu tirai asap, bahkan kalau perlu tirai asap pekat. Maka sangat mudah kita akan menemukan jejak digital, atau kalau kita punya mesin waktu : juga jejak digital masa datang, dimana pernyataan-pernyataan kontroversial akan dikendang secara berurutan, sesuai dengan waktu yang ada di partitur. Berkembangnya kecerdasan publik dalam menangkap gejala ini nampak misalnya dalam ungkapan, “si-anu sudah lama nggak headline nich.” Pernyataan atau ungkapan yang menjadi ‘headline’ itu mulai dari sontoloyo, genderuwo, budak, ‘jasa’ tentara China di masa Majapahit, sampai dengan ‘kalau bukan si-aku maka akan salah semua’ atau ‘sebelum nonton film nyanyi Indonesia Raya dulu’. Dan tidak hanya dari para ‘tokoh’ itu, tetapi juga dari ‘figur-figur publik’ medioker yang sangat mbèlgèdès itu. Maka publik-pun semakin paham, ketika suatu pernyataan kontroversial berasal dari si A, B, C, dan seterusnya, bisa dirasakan denyut pethakilan-nya itu adalah denyut pesanan belaka. Pesanan untuk memperpekat tirai asap. Tirai asap ketika postulat ‘yang mudah disogok’ itu sedang dalam puncak persiapan operasinya.

Di-tengah-tengah persiapan operasi berdasarkan postulat  ‘yang mudah disogok’ itu, kelompok operator dari ‘mereka’ berulang-kali relaksasi dengan menggelar nonton bareng, nobar film Gangs of New York. Film berdasarkan novel dengan judul sama itu diproduksi tahun 2002. Sedangkan novel-nya sendiri terbit pertama kali tahun 1927, dikarang oleh Herbert Asbury dengan setting cerita kota New York di tahun 1920-an. Dan pemimpin ‘mereka’ ketika tiba pada satu scene, film di-pause untuk supaya diperhatikan lebih. Scene itu ketika muncul ungkapan di-tengah-tengah keriuhan pemilihan: “Remember the first rule of politics. The ballots don’t make the results, the counters make the results. The counters. Keep counting!”  *** (04-02-2019)

 

[i] Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Natives. A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in Ideology of Colonial Capitalism, Frank Cass, 1977

Saat Di-postulat-kan Sebagai 'Yang Bodoh' dan 'Yang Mudah Disogok'