05-04-2021
Pasca kemenangan Trump di tahuh 2016 menyisakan sebuah ‘skandal’, yaitu Skandal Cambridge Analytica. Skandal ini melibatkan Facebook dimana data-data pribadi pengguna facebook itu ‘digangsir’ oleh Cambridge Analytica yang disewa Trump dalam kampanye pilpres 2016 lalu itu. Dengan ada data-fata pribadi di tangan maka dibuatlah profil dari masing-masing pengguna itu dengan bantuan semacam algoritma tertentu. Berdasarkan itu pula kemudian dikirimlah pesan-pesan sesuai dengan profil ‘kejiwaan’ pengguna facebook tersebut. Ternyata hal ini tidak saja efektif dalam mempengaruhi pemilih, tetapi karena ‘tepat sasaran’ sesuai dengan ‘profil-kejiwaan’ penerima pesan maka keterbelahan-pun kemudian mewujud secara ugal-ugalan. Dari situasi ini kemudian mencuat soal tuntutan etis bagi penyimpan data. Bahkan juga mulai merambah soal tuntutan hukum.
Dalam satu kuliah neurologi saat masih di fakultas kedokteran dulu, dosen melempar sebuah guyonan. Apa beda neurologi –yang dia salah satu ahlinya, dengan psikiatri? Dijawab sendiri, neurologi dan psikiatri sama-sama mencari kucing hitam dalam ruang gelap, bedanya kalau neurologi kucingnya itu ada. Dan memang betul itu, sekaligus juga menunjukkan bagaimana soal ‘ilmu jiwa manusia’ itu memang bisa-bisa tidak mengenal batas. Itulah juga mengapa misalnya, kapitalisme itu tidaklah mungkin ditaklukkan, karena dalam kapitalisme akan erat berurusan dengan segala dimensi manusia. Lihat bagaimana ketika seorang Demi Moore bisa membuat salon-salon kebanjiran pelanggan untuk potong rambut gaya Demi Moore di film Ghost bertahun lalu itu. Maka memang kemudian seperti ditulis Ignas Kleden dalam Sosialisme Dari Tepi Sungai Elbe (Kompas, 23 Juni 1996), kapitalisme hanya akan berkembang dan tidak menjadi brutal jika ada sosialisme, sedang sosialisme akan berkembang jika tidak ‘diganggu’. Sosialisme seperti apa yang akan ‘menjaga’ sehingga kapitalisme tidak menghacurkan diri sendiri dan menjadi brutal itu? Jika kita memakai yang sering dilekatkan pada Marx, maka itu adalah ‘sosialisme yang berpikir’, sosialisme ‘ilmiah’, bukan yang mimpi atau utopis. Atau jika kita berandai-andai, ranahnya adalah ‘hasrat’ vs ‘rasio’.
‘Drama’ Trump-Biden berbulan terakhir adalah drama soal kekuatan ‘hasrat’ dan ‘rasio’. Sama-sama kapitalis, tetapi Biden atau Partai Demokrat pada umumnya selalu akan mengambil posisi ‘di-kiri’. Tak mengherankan jika Trump kemudian menyerang Biden salah satunya dikaitkan dengan komunis atau sosialis. Jika dilihat lebih jauh lagi, ‘drama’ Trump-Biden ini adalah juga soal bagaimana ‘mawas diri’ dikembangkan dalam kapitalisme. Bukan dengan mengandalkan ‘maksud baik’, atau ‘orang baik’ tetapi dengan kekuatan politik. Politik yang ada di ‘bangunan atas’ dan kemudian dengan kekuatannya ikut mempengaruhi bagaimana ‘pembagian kekayaan’ mesti diselenggarakan. Lihat bagaimana perbedaan ‘target utama’ dalam pemberian stimulus selama pandemi ini. Trump akan cenderung diberikan terutama pada korporasi besar si-kaya misalnya, sedang Biden stimulus lebih pada kebanyakan rakyat kecil. Kalau kita ingin menghibur diri, Biden itu sebenarnya ‘marhaenis’-tulen. Maka memang menjadi ‘yang-lebih-kiri’ itu bisa-bisa lebih tidak mudah karena ia harus siap memaksimalkan kekuatan ‘rasio’-nya. Menjadi ‘kiri’ dengan kemampuan ‘rasio’ terbatas maka yang muncul kemungkinan besar hanyalah romantika saja. Jualannya mimpi doang. Sedang menjadi ‘kanan’, bahkan dengan kualifikasi setingkat Donald Trump-pun dimungkinkan. Kenapa harus ‘berpikir’ jika hasrat alamiah itu yang akan menyelesaikan?
Tentu dibanyak hal di atas banyak pula penyederhanaan yang terlibat. Tetapi yang mau disampaikan di sini, ‘on-off’ sebagai yang dominan antara hasrat dan berpikir itu harus selalu dipertimbangkan. Ketika ledakan energi yang digendong hasrat itu selalu dikurung, maka itu juga bisa-bisa ‘mubazir’ jadinya. Makanya, kadang partai Republik yang menang, tetapi Partai Demokrat-pun mempunyai kesempatan sama untuk menang. Tetap ada kesempatan untuk ‘mawas-diri’. Apa yang mau disampaikan di sini soal ‘kapitalisme-sosialisme’ dalam ‘permukaan’-nya ini hanyalah ingin menggambarkan betapa ‘kaya’-nya kita sebagai manusia. Bermacam dimensi dari homo economicus sampai animal rationale misalnya, juga bermacam gejolak hasrat, bermacam ‘variasi’ ada dalam diri. Bermacam kemungkinan-kemungkinan.
Tenaga medis sebagai salah satu profesi misalnya, juga tidak lepas dari soal etis sampai dengan adanya sumpah/janji profesi. Bahkan juga tenaga yang terlibat dalam rekam medis misalnya. Hubungan antara dokter-pasien juga hadir dalam ranah etis juga, misal adanya code of conduct bagi dokter untuk merahasiakan kondisi pasien. Hanya atas persetujuan pasien atau melalui keputusan pengadilanlah data pasien bisa dibuka. Dalam dunia digital seperti sekarang ini, rekam medis di banyak tempat sudah serba ‘elektrokik’. Maka bagi programmer-pun juga akan terikat dengan sumpah/janji profesinya sendiri. Misal ia tidak akan memberikan informasi soal keamanan program rekam medik elektronik yang dibuatnya. Coba kita bayangkan jika data-pribadi kondisi pasien ini bocor sampai pihak ketiga –entah melalui ‘pintu’ mana. Misal pasien dengan kondisi kejiwaan mempunyai ‘bawaan waham’ dan dia menjadi pasien tetap psikiater. Rekam mediknya sampai pada pihak ketiga dan kemudian digunakan untuk ‘memprovokasi’ terus-menerus pasien tersebut. Bisa dibayangkan, jika yang penanganannya ‘massal’ seperti Skandal Cambridge Analytica saja sanggup membelah secara ugal-ugalan itu, bagaimana jika pendekatannya begitu ‘privat-dengan-intensif’-nya? Kalau waham-nya adalah ia merasa sebagai titisan Bung Karno, misalnya, maka bisa-bisa ia kemudian berdandan a la si Bung dan kemudian pagi-pagi berangkat ke tengah-tengah pasar untuk pidato layaknya si Bung. Kalau cuma pidato mungkin tidaklah begitu mengusik, lha kalau kemudian sambil mengacung-acungkan golok? *** (06-04-2021)