03-02-2019
Harold J. Laski dalam The State in Theory and Practice (1935) menuliskan: “The profit-making motive demanded lower wages, inferior general conditions of industry, a diminution of the charges imposed upon capital by taxation, a consequent contractions of the social services. But democracy has led the masses to expect the reserve of all this.” [1] Kutipan di atas secara tidak langsung menunjukkan salah satu tarik-menarik atau ‘ketegangan’ yang mesti dihadapi oleh kontestan terpilih dalam prosedur demokrasi. Ketika ranahnya adalah ranah one-man-one-vote, kontestan akan meyakinkan si-pemilik suara –rakyat, si-demos, dengan menebar optimisme betapa bergunanya dirinya bagi rakyat kebanyakan ia jika terpilih nanti. Tetapi pada saat yang sama ia akan berhadapan dengan paradigma one-dollar-one-vote, dimana kekuatan uang yang tidak akan putus-putusnya mendesakkan dirinya sebagai kekuatan politik juga. Inilah titik dimana tidak hanya kecerdasan dalam membangun dan melaksanakan janji, tetapi juga keberanian. Keberanian yang tidak mengenal rasa takut untuk melaksanakan janji-janji kampanye-nya pada rakyat, si-demos.
Cobalah anda berjanji pada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, ketika tiba pada satu saat ada penghalang besar atau godaan besar di depan mata, kadang satu-satunya energi tersisa adalah keberanian. Atau lihatlah gelegar keberanian Bung Tomo, atau juga para pahlawan pejuang kemerdekaan, kadang keberanian dalam memegang janji perjuangan harus berujung pada penjara atau kematian. Atau Obama ketika ia bersikap terhadap rencana pendirian islamic center di sekitar ground zero, janji saat disumpah-jabatan-pun memerlukan keberanian dalam menghadapi turunnya popularitas. Tidak ada satu-pun ‘orang besar’ menjadi besar dalam catatan sejarah karena berani melawan segala fitnah yang ditujukan pada dirinya. Tetapi ia menjadi besar karena berani setia terhadap janji-janji dalam memperjuangkan sesuatu, sesuatu yang di luar kepentingan dirinya atau yang menyangkut dirinya. Sesuatu yang jauh dari dunia egoisme diri.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah keberanian sebagai salah satu keutamaan itu adalah netral sifatnya? Apakah seorang anggota mafia yang dengan tenang masuk ke restoran ketika kubu lawan berkumpul, kemudian memuntahkan peluru ke seluruh ruangan, dan keluar lagi dengan langkah tenang, adalah sebuah keberanian yang diagungkan itu? Jika keberanian dihayati sebagai yang netral sifatnya, jelas ia juga seorang pemberani. Atau cobalah kita bayangkan seorang kontestan pemilu dengan amat meyakinkan kepada khalayak bahwa jika ia terpilih nanti jabatan Jaksa Agung akan diserahkan pada profesional non-partai. Segera membuncah optimisme khalayak membayangkan hadirnya ‘surga’ penegakan hukum di republik. Tetapi belumlah dingin pemilihan, ternyata si-terpilih itu memilih sosok Jaksa Agung yang khalayak sudah tahu kedekatannya dengan partai, atau bahkan ia adalah orang partai yang segera mundur dari partai segera setelah terpilih sebagai Jaksa Agung. Bagi kelompok ‘profit making motive’ –meminjam kutipan Laski di atas, ia bisa saja akan dikatakan sebagai si-pemberani. Mungkin saja kata-kata yang terlontar: “Sungguh pemberaninya Anda, rakyat saja beraninya kau tipu. Hebat!”
Bagi Platon, keberanian letaknya ada di dada. Dan memang juga ia layaknya sebuah kuda (putih) liar. Maka ia –seperti kuda hitam liar (nafsu perut dan di bawahnya), perlu ‘dituntun’ oleh pengetahuan. Tidak mudah memang, dan tidak akan ada yang mengatakan itu mudah. Tetapi dengan itu juga kita bisa membayangkan, terlebih ketika berurusan dengan yang mau diurus oleh demokrasi, bagaimana jika pengetahuan yang ada dari si-terpilih itu pas-pas-an saja kadarnya? Kemungkinan yang terjadi adalah bisa-bisa saja memaknai keberanian itu sebatas urusan diri menghadapi fitnah misalnya, atau hoax-hoéx yang menyangkut dirinya, atau yang sekitar itu. Atau masalah ‘waktu aku kecil’.[2] Tetapi jelas ia tidak akan pernah masuk dalam dilema yang diilustrasikan Harold J. Laski seperti kutipan di atas. Selain memang mungkin karena pas-pas-annya pengetahuan, mungkin juga karena sudah memilih, memilih di pihak ‘profit making motive’. Dan pilihan ini bukannya tanpa resiko, ‘jalan gampang’ bisa-bisa muncul sebagai pilihan yang menggoda, seperti ditunjukkan oleh Laski: “Fascism came to rescue capitalism from this dilemma.”[3] Dilema yang diakibatkan oleh dua hal yang ‘bertentangan’ seperti kutipan di atas. *** (03-02-2019)
[1] Harold J. Laski, The State in Theory and Practice, 5th ed, George Allen and Unwin LTD, 1951, hlm. 131
[2] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/083-Mukidi-Waktu-aku-kecil/
[3] Harold J. Laski, hlm. 131