www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-07-2021

Berani sopan, jujur, maksudnya adalah soal bagaimana sopan-sopan-an itu memang mempunyai ‘inner beauty’-nya. Biar tidak kemudian dikatakan, sopan-sopan tapi penipu! Siapa bilang penipu tidak tahu sopan santun? Tidak tahu tata-krama? Lihat film-film misalnya, bagaimana seorang penipu bisa menipu banyak orang dari sopan-santun dan tata-kramanya dalam pergaulan, bahkan tata-kramanya high-class. Siapa yang dapat memastikan bahwa penjilat-penjilat itu adalah orang yang tidak tahu sopan-santun? Tidak tahu tata-krama? Bahkan tukang glembuk-pun kebanyakan adalah orang yang sopan dan paham tata-krama.

Tetapi memang kebanyakan orang akan mudah tertipu dengan segala kesopanan dan tata-krama nir-inner-beauty. Tidak salah memang jika kesopanan dan tata-krama itu akan dihayati sebagai taken for granted saja. Langsung saja akan dihayati sebagai: orang baik, misalnya. Tetapi seperti pernah diungkap oleh Abraham Lincoln (1809-1865): “Anda bisa menipu semua orang pada suatu waktu, atau menipu sebagian orang selamanya, tetapi anda tidak bisa menipu semua orang untuk selama-lamanya,” maka ke-nir-inner-beauty-an sopan-santun dan tata-krama itupun pada titik tertentu akan terkuak juga adanya jurang lebar-dalam antara kelakuan asli dengan penampakan yang mau-maunya ditampilkan dalam bungkus sopan-santun dan tata-krama itu. Kebusukan itu tetaplah menebar bau, dan bau terasa semakin menyengat ketika banyak khalayak semakin sadar.

Tetapi orang harus mengetahui bagaimana menutupi tindakan-tindakannya dan menjadi pembohong dan penipu yang ulung. Manusia bersifat sederhana, dan begitu banyak manusia di sekitarnya, sehingga penipu akan selalu menemukan yang siap untuk ditipunya,” demikian Machiavelli (1459-1527) menulis dalam Sang Penguasa.[1] Di bagian lain Machiavelli menuliskan: “Berkat pemerintahannya yang sudah lama semua ingatan akan perubahan dan sebab-sebab perubahan tersebut akan dilupakan orang karena suatu perubahan selalu merupakan awal perubahan lainnya.”[2] Apa yang dikatakan Abraham Lincoln dan Machiavelli di atas tidak hanya berjarak waktu obyektif sekitar 300 tahun, tetapi juga soal penghayatan subyektif yang berkembang, dimana Machiavelli meski hidup di tengah-tengah mulai meningkatnya barang cetakan, masa itu bisa dikatakan masih dominannya era manuskrip. Sedang masa Lincoln hidup, barang cetakan dan surat kabar sudah berkembang sedemikian rupa menyebarnya, paling tidak di daratan Eropa dan Amerika sana. Bahkan telegram-pun sudah beroperasi di rentang waktu tersebut.

Sekitar seratus tahun setelah Lincoln meninggal, Richard Nixon bercerita bahwa ketika bertemu dengan Nikita Khrushchev, Khrushchev pernah bilang padanya: “If the people believe there’s an imaginary river out there, you don’t tell them there’s no river there. You build an imaginary bridge over the imaginary river.” Padahal saat itu penghayatan subyektif akan sesuatu-pun mestinya sudah berkembang dengan semakin berkembangnya telepon, radio, dan terutama televisi. Atau lihat ketika dunia sudah masuk di abad informasi era digital seperti sekarang ini, masih saja kita temui versi lain dari ‘prinsip Khrushchev’ itu: “If the people believe there’s an imaginary mob-nas[3] out there, you don’t tell them there’s no mob-nas there. You build an imaginary Mobil-Esemka over the imaginary mob-nas.” Bahkan jika mengacu kiprah kaum Sofis di masa Yunani Kuno, maka ‘tipu-tipu’ di ranah politik itu bisa dikatakan sudah tercatat sejak lebih dari 2000 tahun lalu.

Maka bagi kita ‘orang biasa’, katakanlah rakyat, adanya politisi yang hilir-mudik di sana nipu di sini nipu itu adalah di luar kendali kita. Mau mengutuk sekeras apapun atau berlapis-lapis materai untuk mengikat, tetap saja ketipu adalah salah satu kemungkinan yang tidak akan pernah hilang. Yang ada dalam kendali kita adalah respon kita terhadap hal semacam itu. Dan sesuai dengan modus komunikasi yang berkembang dari jaman-ke-jaman, respon mestinya juga berkembang. Paling tidak dengan berkembangnya modus komunikasi, “tetapi anda tidak bisa menipu semua orang untuk selama-lamanya,” seperti dikatakan Lincoln di atas akan semakin mudah dan cepat membesar. Maka setelah sadar bertubi-tubinya suguhan tipu-tipu itu, respon-pun semestinya tidak hanya akan berhenti pada bersungut-sungut saja. Dalam ranah demokrasi, politisi menipu rakyat secara telanjang membabi-buta seakan tanpa batas itu, ia jelas sangat tidak tahu diri. Hanya yang merasa diri sebagai sang-raja atau kaisar saja yang akan mengabaikan hal ke-tidak-tahu-an diri itu. “Pala loe pèyang,” demikian mungkin sang-raja bergumam.

Dan di era digital ini semestinya ‘tehnik menipu’-pun harus semakin berkembang. Hanya yang berasumsi rakyat itu bodoh semua maka ia akan merasa cukuplah tipu-tipu kelas ndèk-ndèk-an, kelas medioker sudah akan dirasa ‘manjur’ dan bahkan kemudian tanpa sungkan diulang dan diulang terus. Benarkah rakyat begitu bodohnya? Yang kadang dilupakan di era digital ini adalah, kebanyakan orang akan menjadi lebih ‘cepat-belajar’. Lihat misalnya, begitu mudahnya janji-janji palsu itu dijejerkan dengan realisasinya. Atau bahkan video saat ia omong ini dan itu, dan kemudian dijejerkan dengan faktanya. Kompilasi perbandingan antara (bukti) kata dan (bukti) tindakan menjadi mudah dibuat dan dibagikan untuk ‘belajar bersama’. Dan jika respon rakyat yang terus-terusan ditipu ini pada titik tertentu kemudian bersikap, enough is enough, sudah cukup, sudahlah, maka itu adalah tidak terelakkan lagi. Dengan berkembangnya modus komunikasi, proses-proses molekuler dalam bereaksi terhadap aksi tipu-tipu itu akan semakin pendek rentang waktunya untuk sampai pada ‘titik kritis’-nya. Tinggal tunggu sentuhan katalis saja maka ia akan meledak. Yang harus ‘diwaspadai’ adalah ketika kepepet di ranah kekuatan ‘pengetahuan’ ini maka akan semakin massif digunakan kekuatan uang dan terlebih di ujungnya, sayangnya: kekuatan kekerasan. Dan jika itu terjadi, inilah biaya besar yang harus ditanggung republik atas tingkah seorang atau beberapa orang penipu tidak tahu diri itu. Berani sopan tetapi tidak berani jujur. *** (02-07-2021)

 

[1] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit PT Gramedia, 1987,  hlm. 72

[2] Ibid, hlm. 6

[3] mob-nas, mobil nasional

               

Berani Sopan, Jujur!