21-01-2019
National Geographic baru-baru ini menayangkan 1989: The Year That Made Us dalam 6 episode.[1] Tayangan tentang berbagai kejadian 30 tahun lalu yang dapat dikatakan ikut terlibat dalam mempengaruhi perjalanan manusia sampai dengan 30 tahun kemudian. Dan mungkin saja lebih. Kalau boleh berandai-andai, kita yang hidup di republik ini, akankah 30 tahun mendatang ada yang berpikiran membuat dokumentasi, 2019: The Year That Made Us –meminjam judul tayangan National Geographic di atas. Saat bermacam dokumen itu sudah masuk kategori ‘declassified’, misalnya.
Mungkin sebagai episode pertama adalah bagaimana bermacam aspirasi di awal tahun 2019 dengan terbantukan media digital mampu mendesakkan sebuah keputusan.[2] Hal ini terkait dengan debat pilpres pertama. Cobalah kita bayangkan ketika awal Reformasi 20 tahun lalu bagaimana wacana demokrasi begitu masuk dalam sebuah tekad republik. Dan di awal 2019 ini terkait dengan (debat) pilpres –salah satu bagian penting dalam demokrasi yang dibayangkan 20 tahun lalu itu, terbayangkankah kita akan menemui lontaran-lontaran seperti ini: ‘debat capres jangan mirip bimbel’ (bimbingan belajar), ‘anak SD saja ujian tidak dibocorkan dulu soalnya’, atau ‘kayak anak sekolah, tidak simak pertanyaan, malah sibuk lihat kerpekan’? Maka episode perdana 2019: The Year That Made Us itu mungkin akan menayangkan bagaimana warga yang hidup di republik itu sudah mulai gatal-gerah, sudah mulai berontak terhadap ‘suasana kebatinan republik’ yang sering disesaki dengan ke-medioker-an itu. Emangnya gué o’on, itu mungkin semboyan spontan dan kontranya warga republik, yang nampaknya mampu berperan penting sebagai bahan bakar dalam mendorong aspirasi. Maka kemungkinan besar judul episode pertama: Menolak Menjadi O’on!
Uninteded Machiavellian Effect,[3] mungkin akan mewarnai episode kedua. Nuansa ini kemungkinan adalah reaksi atas ‘sakitnya ditembak terlalu bawah’.[4] Mungkin bertahun lalu ‘ditembak terlalu bawah’ itu belum terasa menyakitkan bagi kebanyakan orang, dan itu tergambarkan misalnya dengan (salah-satu-nya) keberhasilan ‘parade kemegahan mobil Esemka’ itu. Tetapi sekali lagi, terbantukan dengan merebaknya informasi digital, informasi menjadi tidak sekedar informasi saja, tetapi juga in-formation, ikut membentuk dan mengembangkan ‘kecerdasan kolektif’. Membantu terbangunnya sebuah sikap (bersama) juga. Dan dengan berkembangnya kecerdasan kolektif dari sebuah proses ‘learning society’, ‘tembakan yang terlalu bawah’ yang dulu tidak terasa menyakitkan itu (bagi kebanyakan orang) sekarang tiba-tiba saja ‘terasa menyakitkan’, bahkan juga sudah bagi kebanyakan orang. Terasa menyakitkan karena telah memprovokasi secara terus menerus rasa mual yang semakin hebat.
Dalam konteks aksi-reaksi, bermacam aksi yang ‘dipandu oleh sebagian tulisan-tulisan Machiavelli’ itu telah membangunkan sebuah reaksi, yang nampaknya bersifat ‘unintended’. Sebuah reaksi yang lagi-lagi sangat terbantukan oleh dunia digital ini. Dan sekali lagi Noam Chomsky benar, paling tidak dalam hal pentingnya ‘yang lain mengetahui sentimen atau perasaan orang lain’.[5] Dengan terbantukan secara digital-online, intersubyektifitas itu mendapat dorongan yang signifikan dalam semakin mendekati esensi perkara. Jadi tidak mengherankan, jika judul episode pertama adalah ‘Menolak Menjadi O’on!’ maka kemungkinan besar judul episode ke dua dari serial 2019: Year That Made Us adalah: ‘Gerakan Akal Sehat’.
Episode ke tiga menggambarkan bagaimana ‘gerakan akal sehat’ itu semakin mendekati esensi bermacam perkara. Dengan bantuan jejak digital-online pula, warga republik semakin tahu bahwa ‘harga eceran gula di Indonesia 2,4 hingga 3,4 kali lebih mahal dari harga gula Dunia selama Januari 2017 sampai November 2018. Impor gula rafinasi membanjir. Pemburu rente meraup triliunan rupiah’.[6] Dan lagi, ‘menjelang pemilu, tiba-tiba Indonesia menjadi pengimpor gula terbesar di Dunia. Praktek rente gila-gilaan seperti ini berkontribusi memperburuk defisit perdagangan’.[7] Belum lagi lebih mahalnya berbagai macam bensin jika dibandingkan harga bensin setingkat di beberapa negara ASEAN, bahkan juga lebih mahal dibandingkan harga di AS sono. Dari jejak digital warga republik bisa mengakses informasi tersebut. Dan bermacam perburuan rente di berbagai sektor lainnya.
Tentu praktek pemburuan rente ini mempunyai sejarah panjang, tetapi baru kali ini terkait dengan kegilaan pemburuan rente sektor gula akhir-akhir ini seorang menteri perdagangan berujar: “Dodol Garut cepat bulukan pake gula lokal”. Apa yang absence dalam pernyataan itu kiranya adalah: menggilanya ulah para pemburu rente itu. Maka episode ketiga bisa diraba judul potensialnya: ‘Genderuwo Pemburu Rente’.
Kegilaan ulah para genderuwo pemburu rente itu tidak hanya sebatas dalam hal rente-nya, tetapi juga terkait dengan power yang mana itu adalah juga salah satu dasar pondasinya. Episode ke-empat kelihatannya akan menyoroti hal ini. Dalam episode ini, akan diberikan latar dulu terkait dengan gejolak geopolitik-geoekonomi kawasan Pasifik, dimana raksasa RRC sedang bangkit menggeliat. Gejolak geopolitik kawasan ini nampaknya menggoda sebagian komplotan pemburu rente ini, sehingga dalam kegilaannya mulai membangun pondasi power-nya tidak hanya dalam republik tetapi juga power dari luar republik. Maka bagi yang mau berhenti sejenak saja keluar dari rutinitas, dan mencoba melihat republik dengan mata jernih dan mata patriotik, segera akan terasa hadirnya poros Beijing itu. Maka tidak jauh dari ‘uninteded Machiavellian effect’ seperti disebut di atas, tidak hanya masalah akal sehat saja, tetapi terus menghujam ke ulu hati: hal martabat. Penghayatan akan republik-pun menjadi tidak hanya berhenti pada pemahaman formal-normatif, tetapi sudah menyangkut lebih dalam lagi, menyangkut harga diri republik. Maka tidak akan mengagetkan jika episode ke empat ini berjudul: “Martabat, Martabat, Martabat”. *** (21-01-2019)
[1] https://www.nationalgeographic.com.au/tv/1989-the-year-that-made-us/
[2] Dari kebijakan komisioner KPU membocorkan soal debat pilpres menjadi tidak ada lagi bocoran pada sesi-sesi debat berikutnya.
[3] Lihat juga beberapa tulisan di website ini yang membahas atau menyinggung soal Machiavelli
[4] ‘Ditembak terlalu bawah’ merupakan gambaran dari sebuah asumsi atau bahkan klaim yang meyakini bahwa rakyat kebanyakan itu bodoh dan mudah ditipu
[5] Lihat, Belajar Dari Noam Chomsky, https://www.pergerakankebangsaan.com/041-Belajar-Dari-Noam-Chomsky/
[6] https://twitter.com/FaisalBasri/status/1082416092511752192
[7] https://twitter.com/FaisalBasri/status/1082793452478246912