19 - 3 - 2018
Dari segala jejak digital untuk direnungkan, perasaan mengatakan bahwa di belakang ‘gaya’ SBY ada jejak-jejak Jean-Jacques Rousseau. Rousseau lahir tahun 1712, 33 tahun setelah kematian Thomas Hobbes. Di belakang belakangnya Jokowi, semakin terasa banyaknya jejak-jejak dari Thomas Hobbes. Hobbes lahir tahun 1588, 61 tahun setelah kematian Machiavelli. Atau kira-kira 138 tahun sesudah mesin cetak ditemukan oleh Johannes Guttenberg.
Jejak-jejak dirasakan dengan mencoba menguak cara pandang terhadap manusia, kira-kira asumsi dasar apa yang dominan. Bagi Thomas Hobbes, dengan membayangkan suatu kondisi alamiah, state of nature –tanpa negara, manusia adalah ‘kegelapan’. Manusia pada dasarnya adalah terpecah-pecah, bodoh, tak berperasaan, kejam. Ujung jika ini tetap dalam kondisi alamiah adalah semua-lawan-semua, dan bisa begitu menghancurkan hidup bersama. Rousseau sebaliknya, manusia dalam kondisi state of nature tidaklah bodoh, kejam dan tak berperasaan, tetapi dia mempunyai kebaikan, kebijaksanaan serta kebebasan. Punya kemampuan untuk menjalin kerjasama, dan bukannya didominasi oleh semua-lawan-semua.
Dari jejak-cetak Pembukaan UUD 1945, apa yang kita rasakan? Penjelasan UUD 1945 mengatakan bahwa untuk menyelidiki hukum dasar tidaklah cukup hanya menyelidiki pasal-pasalnya saja, tetapi harus juga diselidiki bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund).
Tekad merdeka sebagai satu bangsa menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, yang jauh di dalam lubuk hatinya selalu menginginkan kebebasan. Berulangnya penindasan di Nusantara setiap hari-bulan-tahun melahirkan perasaaan bersama dalam memandang penjajahan. Maka tak heran dalam Pembukaan UUD 1945 penjajahan dirasakan-dihayati bersama sebagai yang begitu mengusik kemanusiaan dan keadilan.
Dalam Pembukaan UUD 1945 dapat juga kita rasakan bagaimana sang Leviathan ditolak. Karena pemerintahan yang dinginkan dapat (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, itu dalam kebijakan dan prakteknya pada akhirnya haruslah berdasarkan apa yang kita kenal dengan Pancasila (lihat: Pembukaan UUD 1945, alinea 4). Tidak boleh semau-maunya. Maka jelas sebenarnya, pemerintahlah yang semestinya pertama-tama melaksanakan Pancasila. Bukannya dibalik atau terbalik, rakyat yang pertama-tama selalu dikejar-kejar. *** (Maret 2018)
Ancaman dari luar memaksa Herman Willem Daendels membangun jalan melintas Jawa. Jika ini adalah infrastruktur maka jalan tersebut adalah juga salah satu infrastruktur kekuasaan Daendels. Kekuasaan akan selalu membutuhkan infrastruktur –baik ‘soft infrastructure’ maupun ‘hard infrastructure’, sebagai pendukung tegak dan beroperasinya kekuasaan. Demikian juga di seberang jalan, perjuangan melawan kekuasaan penjajah misalnya, juga memerlukan infrastruktur perjuangan.
Istilah infrastruktur diadopsi dari istilah asing, infrastructure : (1) an underlying base or foundation especially for an organization or system, (2) the basic facilities, services and installations needed for the functioning of a community or society. (https://en.wiktionary.or/wiki/infrastructure) Dari asal katanya, infrastruktur mengandaikan juga suatu penyebaran, perluasan (-to spread). Jika lebih dalam lagi kita lihat, penyebaran ini sebenarnya mengandung dua dimensi, dimensi horisontal dan vertikal. Horisontal menyangkut cakupan, sedang vertikal atau kedalaman, berarti kualitas. Maka membangun infrastruktur kekuasaan berarti bagaimana memperluas kekuasaan dan memperdalam cengkeraman. Demikian pula sebaliknya, membangun infrastruktur perjuangan atau perlawanan.
Sebelum masuk lebih dalam mengenai infrastruktur kekuasaan/perjuangan-perlawanan, bagaimana kekuasaan (power) dihayati perlu dibedah secara hati-hati. Terutama dari sisi perjuangan-perlawanan, salah melihat bagaimana kekuasaan dihayati oleh penguasa maka akan fatal bagi perlawanan.
Dalam tradisi Barat, asumsi tentang manusia terkait dengan kekuasaan didominasi oleh dua pandangan, Thomas Hobbes dan Jean-Jacques Rousseau. Dengan mengandaikan kondisi state of nature -kondisi alamiah, bagi Hobbes, manusia pada dasarnya terpecah-pecah, bodoh, tak berperasaan, kejam. Dalam kondisi alamiah –tanpa negara: semua lawan semua. Rousseau sebaliknya, manusia dalam kondisi state of nature tidaklah bodoh, kejam dan tak berperasaan, tetapi dia mempunyai kebaikan, kebijaksanaan serta kebebasan. Punya kemampuan untuk menjalin kerjasama, dan bukannya didominasi oleh semua-lawan-semua.
Jika si pemegang kekuasaan lebih diwarnai oleh pandangan Thomas Hobbes, maka ia menempatkan infrastruktur kekuasaan pertama-tama adalah di medan konflik. Seluruh sumber daya akan dikerahkan untuk memenangkan konflik. Atau menciptakan konflik yang sudah dipastikan kemenangan ada di tangannya. Bagi perlawanan, baik konfrontasi maupun kerjasama dalam perjanjian misalnya, menghadapi penguasa seperti ini haruslah ekstra hati-hati. Tipu-tipu, spin, menikam dari belakang, dan seterusnya adalah berbagai pilihan taktik yang sah bagi mereka –sang penguasa. Etika menjadi barang mahal karena satu-satunya pilihan bagi si penguasa hobbesian ini adalah mempertahankan diri untuk tetap menjadi Leviathan. Jaman now: dengan selalu tampil bergaya sebagai ‘benevolent leviathan’.*** (Maret, 2018)