23-01-2020
Mengapa kita mempunyai kata ‘harapan’? Bahkan juga bahasa-bahasa lain yang digunakan oleh manusia lain di belahan dunia lain. ‘Hope’ misalnya. Padahal apa yang dimaksud oleh kata ‘harapan’ itu belumlah kita jumpai. Atau kemarin kita bisa bicara soal MU lawan Burnley, yang dalam sejarah panjangnya MU adalah klub kuat. Maka ngobrol-pun sampai pada perdebatan berapa gol yang akan disarangkan MU ke Burnley, apalagi MU sebagai tuan rumah. Bahwa akhirnya MU disikat Burnley 0-2, maka kemudian terbukti ‘harapan’ itu ternyata harapan kosong.
Kesadaran kita bukanlah kesadaran yang begitu mandirinya sehingga bisa semau-maunya melayang-layang sendirian. Tetapi kesadaran kita tidaklah lepas dari hal-hal lainnya. Kesadaran akan selalu kesadaran akan sesuatu, ‘consciousness is always a consciousness of something’. Bahkan jika sesuatu itu adalah hal yang belum terjadi, sesuatu yang kita bayangkan adanya di masa depan. Ole Gunnar Solskjær saat akan menghadapi Burnley dihadapkan penyerang andalannya, Marcus Rashford, cedera. Dan dengan tim yang belum juga ’jadi’ sejak ia memegang MU, fakta di depan mata itu tentu membuatnya ketar-ketir. Tetapi sekaligus ia dihadapkan pada harapan fans MU tidak hanya yang ada di stadion, bahkan juga yang ada di Purworejo itu, misalnya. Harapan MU meraih kemenangan atas Burnley. Harapan yang mungkin akan berbeda jika menghadapi Chelsea, misalnya. Cukup seri mungkin itu sudah baik.
Apa yang dirasakan Solskjær di atas juga akan dirasakan oleh para pemimpin. Dan sebenarnya tidak hanya pemimpin, tetapi kita semua. Yaitu seakan berada di ruang-antara, in-between, antara yang senyatanya terjadi dan yang semestinya terjadi. Seorang pengusaha cendera mata di Bali misalnya, ia dihadapkan antara pembeli warga asing terbesarnya adalah warga negara Jepang. Katakanlah demikian. Apa yang akan diperbuatnya untuk mencapai atau mewujudkan harapan keuntungan yang besar di masa depan? Mungkin ia akan mempelajari karakter orang-orang Jepang termasuk jenis cendera mata yang disukai. Juga jika mungkin ia akan melatih karyawan tokonya dengan bahasa Jepang.
Demokrasi dalam nuansa kapitalistis kadang juga terhayati sebagai hubungannya dengan para konsumen. Terlebih saat pemilihan. Pemilih adalah konsumen. Maka rute ‘studi konsumen’, branding, pemasaran, dan seterusnya kemudian menjadi hal penting. ‘Kebosanan’ akan tingkat laku elit yang terlalu sering mencederai rasa-merasa hidup bersama jika ini bisa ditangkap oleh ‘tim sukses’ maka bisa saja kemudian akan dikembangkanlah cerita ‘orang-biasa-yang-baik-hati’ itu. Lengkap dengan segala bahasa tubuhnya. Apakah ini salah? Tentu tidak. Dalam alam demokrasi semua mempunyai kesempatan untuk menjadi pemimpin. Dan jika tim sukses menemukan bahwa banyak orang yang ternyata suka cerita-cerita bombastis misalnya, maka dikaranglah cerita-cerita bombastis yang membuai. Apakah ini salah? Tidak, kata tim sukses. Karena ‘pasar’-nya memang demikian, kata tim sukses lagi.
Tetapi konsumen tidaklah bodoh-bodoh amat. Atau dalam hal ini, pemilih. Persis seperti dikatakan oleh Abraham Lincoln, ‘you can fool all the people some of the the time and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time’. Segala cerita, apapun itu, entah terukur atau bombastis, ia kemudian akan ada dalam ‘dunia harapan’ yang tidak begitu saja menghilang. Apalagi di era jasmetal ini, jangan sekali-kali melupakan jejak-jejak digital. Ia yang akhirnya terlibat dalam membentuk ‘ruang-antara’ itu. Ketika rakyat yang dipimpinnya dari hari-ke-hari dengan berpeluh keringat berjibaku dalam ruang antara itu, maka pelan tapi pasti akan terusik ketika justru pemimpinnya bermain akrobat tidak mutu dalam ruang-antara yang dibuatnya sendiri, dan yang sudah disodorkan pada pemilihnya.
Tentu Machiavelli dalam The Prince tidak sedang melamun ketika ‘mengajukan pertanyaan’, “anda sedang berusaha menjadi raja atau sedang menjadi raja?” Dan persis dalam problema yang diajukan oleh Machiavelli ini kita bisa menelusuri jejak-jejak seorang negarawan, jejek-jejak seorang Hitler dan sejenisnya, atau jejak-jejak seorang yang sekedar jongos belaka. Atau bahkan jejak seorang pengkhianat, #bangsatbangsa itu. Dan suka-tidak suka, Ole Gunnar Solskjær-pun akan menghadapi resiko pemecatan juga. Mungkin fans MU yang di Purworejo itu punya imajinasi soal siapa penggantinya? *** (23-01-2020)