20-05-2019
Michael Moore adalah sutradara AS, dan dalam kesempatan ini dibahas salah satu karyanya, Where to Invade Next. Film dokumenter produksi 2015 itu bercerita tentang apa-apa yang bisa dipelajari oleh AS dari negara-negara lain, khususnya dari daratan Eropa dan juga ada Tunisia. Sekilas segera nampak, Moore sedang membandingkan dua asumsi, antara asumsi manusia itu pada dasarnya jahat dan asumsi manusia itu pada dasarnya baik. Hal yang tergambarkan paling jelas pada scene soal penanganan apa yang disebut sebagai penjahat itu. Atau juga dalam banyak hal, antara survival of the fittest dan welfare state. Atau kalau mau memakai pandangan David C. Korten (2004) dalam menggambarkan dinamika politik di AS dan di dunia pada umumnya: “The real political divide in the United States and the world is not between liberals and conservatives, who in fact share a great many core values –including the values of democracy and community. It is between those of us commited to a politics based on principle and the common good and those who purpose a politics of individual greed and power.”[1]
Lepas dari mana yang lebih baik, pertanyaan bagi kita adalah mengapa dua asumsi itu sama-sama mampu membawa ‘kemakmuran’, baik yang di AS maupun di daratan Eropa sana? Tentu ada negara-negara di luar AS maupun Eropa yang berhasil juga menggapai kemakmuran, tetapi pada kesempatan ini kita belajar dari apa yang disampaikan Michael Moore itu dulu. Tentu juga bicara kemakmuran tetaplah kita harus hati-hati, tetapi apapun itu toh keberhasilan dalam memakmurkan warganya meski tentu banyak catatan-catatannya, paling tidak AS dan Eropa bisa sebagai pembelajaran, paling tidak dalam konteks tulisan ini.
Kelihatannya, dua asumsi di atas bisa berhasil paling tidak memerlukan prasyarat tertentu, pertama, kemampuan mawas diri, dan kedua adalah, the power of story telling.
Survival of the fittest tentu mempunyai batas-batasnya sendiri, demikian juga welfare state. Kemampuan mawas diri sebenarnya adalah kemampuan dalam memahami batas-batas itu. Tetapi dalam politik, ketika ‘batas’ dihayati dengan hanya mengandalkan ‘niat baik’ tentu akan banyak menemui kekecewaan. Dua partai dominan (atau dua koalisi partai-partai dominan) adalah salah satu mekanisme bagaimana mawas diri itu dapat berkekuatan. Atau bisa dikatakan secara sederhana, ‘pertumbuhan’ dan ‘pemerataan’ itu bukanlah urusan niat baik, tetapi urusan keputusan politik yang sebenarnya dibawa oleh partai-partai (atau koalisi-koalisi partai) itu. Dari sini sudah terlihat sebenarnya bagi ‘pemerhati’ masalah ‘pertumbuhan’ dan ‘pemerataan’ dia akan menaruh perhatian besar pada partai maupun koalisi partai. Atau katakanlah ketika ia sungguh berkepentingan soal ‘pertumbuhan’ yang diterjemahkan sebagai ‘pertumbuhan’ bagi dia dan kelompoknya saja, partai dan koalisi partai pastilah akan diotak-atik sedemikian rupa sehingga outcome kebijakan politiknya tidak jauh dari kepentingannya dan itu seakan tanpa henti. Artinya, tidak ada mawas diri.
Jika kita lihat kutipan pandangan Korten di atas, maka pertempuran antara yang ‘commited to a politics based on principle and the common good melawan those who purpose a politics of individual greed and power’ sebenarnya adalah dimulai dari pertempuran di dalam partai atau koalisi-koalisi partai. Di sinilah sebenarnya kita melihat pentingnya partai politik dalam bangunan hidup politik bersama. Di sinilah kita melihat pentingnya kaderisasi atau apapun mau dikatakan. Intinya, partai politik semestinya ada di tangan kader-kader terbaik. Mengapa? Sekali lagi karena partai adalah juga medan pertempuran pertama antara dua pihak seperti sudah disebut di atas. Partai politik adalah juga alat utama dalam rangka mawas diri bangsa.
‘The power of story telling’ mungkin mirip dengan apa yang disebut oleh Marx sebagai ‘bangunan atas’. Story telling soal ‘american dream’ misalnya, sedikit banyak akan memberikan peluang kepada oposisi ketika hidup semakin susah. Bermacam story telling, baik yang stabil beredar di bangunan atas seperti ditunjuk oleh Korten tentang nilai-nilai baik yang ada di konservatif dan liberal di atas, who in fact share a great many core values –including the values of democracy and community, atau merupakan hasil ‘perang narasi’ dengan ‘sponsor utama’-nya adalah kekuatan-kekuatan produksi, atau dari bermacam kekuatan rakyat yang berkembang. David C. Korten (2004) menegaskan pentingnya story telling ini: “We humans live by stories. The power of the right-wing comes not from their number, which are relatively small, but from ability to control the stories by which we answer three basic question. How do we create prosperity? How do we achieve security? And how do we find meaning? By monopolizing the stories by which we answer these questions, they define and control the political debate to advance an imperial agenda.”[2]
Ketika partai dirasa semakin jauh dari alat utama dalam mawas diri, maka rakyat secara langsung akan mengambil alih peran tersebut. Sebuah konsekuensi yang tak terhindarkan. Michael Moore dengan Where to Invade Next selain ingin mencerdaskan ‘basis material’ juga ingin mengingatkan partai-partai politik, khususnya di AS sono. Lain tempat lain juga caranya. Ketika partai atau koalisi partai itu diobok-obok infiltrat setan-setan gundul, atau berubah menjadi ‘partai-undur-undur’, dan terlebih lagi ketika lapangan kompetisinya juga sudah menjadi begitu beceknya sehingga kaki-kaki partai itu seakan menjadi begitu tertahan, maka mawas diri seperti sudah disebut, perlahan akan diambil alih langsung oleh rakyat melalui bermacam jalan khas-nya sendiri. Apapun itu bentuknya. *** (20-05-2019)
[1] https://davidkorten.org/balle-renewing-the-american-experiment/
[2] Ibis