11-10-2019
Salah satu argumentasi pendukung Konsensus Washington terkait dengan privatisasi adalah orang tidak akan sungguh-sungguh greget mengembangkan jika bukan miliknya. Artinya sebuah argumentasi yang lekat abis dengan soal kepentingan diri (self-interest). Tentu ini lebih dekat pada klaim saja sebab banyak juga contoh bukan hanya self-interest saja yang mempunyai daya dorong dan daya ledak tinggi. Tetapi kita juga tidak bisa mengatakan itu hanya ngibul doang. Ngibulnya adalah ketika ia secara membabi-buta membuat klaim sebagai hal satu-satunya di semua aspek kehidupan. Yang ini jelas sedang ‘ngibul ideologis’.
Mengapa tidak sepenuhnya salah klaim dari para pendukung Konsensus Washington itu? Coba bayangkan di ranah privat sebuah perusahaan yang tentu ada dalam sebuah kompetisi, bayang-bayang kalah bersaing yang berujung pada kebangkrutan itu akan memaksa si-pengusaha untuk terus putar otak, putar strategi-taktik-ke-efisien-an untuk bertahan hidup. Kepentingan diri itu tidaklah menari sendiri, tetapi ia ada dalam sebuah horison dalam hal ini, kebangkrutan, kematian usaha. Bayang-bayang kematian ini, atau bahkan bayang-bayang hilangnya hasil usaha membuat orang akan terus menerus menumpuk bermacam hal yang dapat memastikan amannya usaha sekarang dan di masa depan, kata Thomas Hobbes. Yang jika kemudian tidak terbangun bermacam kesepakatan-kesepakatan terkait dengan hidup bersama, situasi akan menjadi semua-lawan-semua. Tulisan ini tidak akan menerus pada soal kesepakatan-kesepakatan ala Thomas Hobbes dan tidak seratus persen-nya klaim para pendukung Konsensus Washington itu benar, tetapi adalah soal bayang-bayang kebangkrutan, atau ‘horison kematian’-nya.
Bayangkan jika tidak ada sedikit-pun ancaman kebangkrutan, maka bisa-bisa sekarang ia buat barang kualitas A, sepuluh tahun kemudian tetap membuat barang kualitas A, dan seterusnya, bahkan bisa saja dikurangi sana-sini. Ugal-ugalan, semau-maunya. Toh tidak akan bangkrut. Tidak ada ancaman gulung-tikar. Atau bayangkan jika manusia tidak akan mati, terus saja umur dapat diperpanjang dengan mudahnya. Bisa-bisa ia ugal-ugalan dalam hidup. Tetapi ketika kematian itu adalah fakta, dan kematian menjadi horison dalam hidupnya, ia akan memandang begitu berharganya hidup. Tentu hidup tidak setiap saat akan dihayati dalam horison kematian ini, bisa repot nantinya. Tetapi pastilah ada saat-saat dalam kehidupannya ia dituntut mengambil sikap dalam horison kematian ini, dan inilah sebenarnya ‘moment’ otentisitas itu akan muncul.
Cobalah kita lihat lebih jauh apa yang dikatakan oleh Richard Robinson 5 Juli 2016, menjelang dua tahun pemerintahan Jokowi – JK, “jika sebuah negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional, maka negara itu bisa menjadi negara yang kuat”.[1] Cukup hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun Robinson sudah bisa menolak bermacam harapan atau klaim bahwa di bawah Jokowi-JK Indonesia akan menjadi negara yang kuat. Dan memang terbukti demikian seperti diungkap Robinson itu. Memproyeksikan kekuatan ke panggung internasional dikaitkan dengan kuatnya sebuah negara itu sebenarnya bisa dilihat juga sebagai sebuah penghayatan dengan horison kematian. Ketika -seperti dikatakan Richard Robinson, tidak mampu memproyeksikan kekuatan di panggung internasional, bisa kita lihat bagaimana ‘otentisitas-keputusan-keputusan-politik’ yang justru dampak di bawah permukaannya yang langsung menusuk suasana kebatinan itu: kedaulatan republik menjadi menggusarkan. Bagaimana mau kuat kalau soal kedaulatan saja gagap? Yang ‘otentik’ justru dungu-nya yang tidak habis-habis dan tidak malu-malu lagi ditampakkan, asli.
Bagaimana jika demokrasi juga ‘mengadopsi’ beberapa hal di atas? Bagaimana jika ada pihak yang menguasai hampir semua sumber daya di input-proses-ouput yang dapat memastikan sebuah kemenangan? Kemenangan yang sama sekali tidak ada ‘horison-kematian’nya? Jika perlu input DPT digelembungkan, dan itu bisa dilakukan. Saat coblosan banyak yang dicoblos ‘petugas’, bahkan surat suara dan perolehannya bisa disulap, dan itu bisa dilakukan. Uang ditebar. Dan di MK-pun bisa dimainkan. Penyelenggara yang ketahuan mbèlgèdèsnya cuman ditegur doang, dan ... selesai cuk! Dan banyaaak lagi variasinya. Intinya, kecurangan-kecurangan[2] yang begitu ugal-ugalan itu telah menghilangkan secara telak kemungkinan kalah, hilangnya ‘horison kematian’ dalam kontestasinya. Dampaknya? Ugal-ugalan! Semau-maunya. Sok-sok-an kronis yang tidak akan sembuh-sembuh dan terus menggerogoti republik. Dan mulailah ritual berita itu, kosongnya kursi parlemen saat sidang, tidur saat sidang, mobil dinas, rumah dinas, dan bermacam lagi berita ècèk-ècèk tampil paling depan.
Kalau kita kembali ke pernyataan Richard Robinson di atas dan mencoba membayangkan ada negara-negara lain yang sangat getol ‘memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional’ dan lanjutannya seperti dikatakan Robinson, ‘mempunyai kemampuan mempengaruhi the setting of rules dan seterusnya’[3], jangan-jangan kita sudah menjadi bagian dari ‘the setting of rules’ mereka dan menjadi makanan empuk mereka. Mereka akan melakukan seperti yang dikatakan Thomas Hobbes, terus menumpuk pengaruh demi amannya pengaruh yang sudah terpegang. Jadi, horison ‘nggak ada matinya’ dalam kontestasi demokrasi dalam konteks bahasan di atas itu sungguh sangat merusak bahkan sangat potensial menggadaikan kedaulatan ujung akhirnya. Maka ini bukan soal move on atau tidak, ini adalah soal mendasar yang tidak boleh kita lupakan. Tidak boleh dibiasakan seolah kita sedang baik-baik saja. Kita harus jeli mana yang punya daya ungkit besar dalam merusak republik. *** (11-10-2019)
[1] http://internasional.kompas.com/
read/2016/07/08/13300091/
profesor.australia.indonesia.tak.punya.
kapasitas.untuk.jadi.kekuatan.baru.di.dunia
[2] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/412-Urip-Ora-Mung-Mampir-Urik/
[3] http://internasional.kompas.com/
read/2016/07 ....