“It's hard to get back the trust once you loose it. in japan business setting, nobody doesn't really seem to want to trade, for lost trust man in japan business, come lacerant future"
https://twitter.com/hiroshionan
23 - 3 - 2018
Cuitan Onan Hiroshi disertai kartun menggelitik ini dapat menjadi gambaran bahwa pendapat Montesquieu lebih dari satu abad lalu yang mengatakan bahwa perdagangan akan mendorong berkembangnya perilaku baik dan peradaban tidaklah salah. Jika ditelisik lebih lanjut maka pada dasarnya itu adalah bagaimana kata-kata berhubungan langsung dengan tindakan. Not Action Talk Only kadang-kadang disalah-mengerti bahwa jangan banyak bicara, yang penting bertindak. Tidak terlalu salah memang, tetapi yang dimaksud di sini adalah antara ‘action’ dan ‘talk’ itu semestinya sebangun, tidak dengan meniadakan ‘talk’, bicara-nya. Jangan sampai frasa “kerja-kerja-kerja” kemudian mengubur janji-janji yang pernah terucap waktu kampanye, misalnya.
Bagi Richard Ned Lebow, seorang ilmuwan politik AS, Thucydides (460-400 SM) memandang penting kaitan antara kata-kata dan perbuatan. Thucydides, menurut Lebow, menunjukkan bahwa hubungan erat antara kata dan tindakan akan memberikan umpan balik positif bagi terbangunnya sebuah konvensi, aturan-aturan, norma-norma, hukum dan lain lain. Dan itu semua menjadikan peradaban Yunani Kuno memungkinkan untuk berkembang.
Hubungan antara kata dan tindakan juga kemudian jangan ditelikung dengan konsep demagog. Memang kata di tangan seorang demagog bisa sangat meretakkan hubungan antara kata dan tindakan. Hubungan kata dan tindakan bisa dengan mudah terkubur ketika kata terbunuh hanya karena kata dilekatkan pada laku seorang demagog. Thucydides-pun mengingatkan hal ini, maka ia membedakan kata-kata antara dolos dan peithӧ. Bagi Thucydides, dolos bahkan bisa menjadi penyebab penting terjadinya perang.
Di negaranya Onan Hiroshi, Jepang, bisa kita lihat bagaimana kata-kata yang meluncur bisa mengakibatkan seorang pejabat mundur dari jabatan publik-nya. Maka tak heran jika Amartya Sen menjadikan pengalaman Jepang, atau yang disebut oleh Michio Morishima (1982) sebagai “the Japanese ethos” dikaitkan dengan kesuksesan penerapan ekonomi pasar bebas di Jepang, Menurut Sen, bagaimanapun juga kesuksesan pasar bebas di Jepang itu tidak serta merta memberitahukan kepada kita tentang apa-apa yang menjadi motivasi di belakang tindakan-tindakan ekonomi dari warga Jepang sebagai agen pelaku dalam ekonomi tersebut. Menurut Sen,
“Indeed, in the case of Japan, there is strong empirical evidence to suggest that systematic departures from self-interest behaviour in the direction of duty, loyalty and goodwill have played a substantial part in industrial success.”[1]
Apa yang ditulis oleh Onan Hiroshi atau juga berita mundurnya pejabat publik karena salah ucap, di belakang itu adalah –seperti dikatakan oleh Michio Morishima: “the Japanese ethos”. Mundurnya pejabat publik karena salah ucap, dari kacamata Thucydides, akan lebih memungkinkan suatu peradaban semakin berkembang.
Kita mungkin masih jauh dari hal di atas. Tetapi cobalah kita lihat sedikit pengalaman beberapa perubahan di kereta api beberapa tahun ini, misal: bagaimana sekarang di dalam gerbong kereta api sudah menjadi bebas asap rokok. Lihat upaya-upaya yang dilakukan, dari sosialisasi sampai pada razia rutin dan penegakan aturan. Bisa tuh.
Maka mari mulai sekarang: jangan pilih pemimpin yang terbukti banyak ingkar janji! Boleh tidak semua janji terpenuhi –itupun harusnya terjelaskan. Tetapi jika terlalu banyak janji terucap yang diingkari, sungguh, masih maukah kita dipimpin oleh pemimpin kelas medioker? *** (Mar 2018)
[1] Sen, Amartya, 2004, On Ethics and Economy, Malden: Blackwell Publishing, hlm. 18
di sini