11-01-2021
Yang dimaksud dalam judul adalah apa-apa yang diungkap oleh Trump justru pada akhirnya ‘menyerang-balik’ dirinya sendiri. Bukan soal bocornya rekaman ketika Trump meminta KPU-nya negara bagian Georgia untuk menambah perolehan suaranya yang membuat Trump semakin tersudut itu, tetapi adalah suatu gejala umum saja, yaitu bermacam pelintiran sampai dengan kebohongan justru seakan kemudian dihayati sebagai kebenaran itu sendiri. Dalam hal ini, justru oleh yang memelintir atau yang berbohong. Bagai seorang mengintrodusir sebuah rumor, dan rumor kemudian berkembang dan berkembang, pada titik tertentu setelah rumor ‘berkembang-biak’ ia justru percaya betul kebenaran rumor itu. ‘Lupa’ bahwa ia sendiri yang awalnya menebar benihnya.
“Teori tentang bintang tidak akan mempengaruhi esensi dari bintang, tetapi teori tentang manusia bisa sangat mempengaruhi keberadaan manusia,” demikian kira-kira ditulis Abraham J. Heschel –seorang rabbi Yahudi, dalam Who Is Man? (1965). Dari ungkapan tersebut kita membayangkan ketika bahkan sejak hari pertama menjabat sebagai presiden AS-pun Trump sudah ‘bermain-main’ dengan yang disebut sebagai ‘alternative facts’. Dan empat tahun kemudian ketika para pendukungnya menggeruduk ke gedung DPR di Washington sana, dan membuat banyak pihak terhenyak. Bahkan berdasarkan peristiwa itu akan digelar pula sidang impeachment bagi Trump. Meski jika itu terjadi impeachment tepat pada hari terakhir Trump sebagai presiden, dampaknya tetaplah ada: dalam sisa hidupnya Trump dilarang untuk mencalonkan diri lagi. Sebuah ‘reaksi-berantai’ yang mungkin saja ketika pada awal-awal bermain-main dengan ‘alternative facts’ itu sama sekali tidak terbayangkan.
Orang bilang siapa menebar angin akan menuai badai, dan kita bisa menambahkan, terutama angin soal ‘teori tentang manusia’ jika mengikuti kutipan Abraham J. Heschel di atas. Terutama ketika kita ber-‘eksternalisasi’ dengan didasari oleh asumsi-asumsi tertentu ‘tentang manusia’. Sebab itu akan ter-‘obyektifikasi’ dan kemudian ter-‘internalisasi’ dengan ujung yang bisa-bisa tak terbayangkan sebelumnya. Ini bisa dijelaskan dengan lebih mudah dengan memakai apa yang pernah dikatakah oleh JF Kennedy di tahun 1962: “The great enemy of truth is very often not the lie--deliberate, contrived and dishonest--but the myth--persistent, persuasive and unrealistic. Too often we hold fast to the cliches of our forebears. We subject all facts to a prefabricated set of interpretations. We enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought.” Kebohongan dalam politik sebesar gunung-pun sering tidak dirasakan sebagai musuh besar, apalagi selalu saja diintrodusir dengan bermacam jalannya, politik ya seperti itu tuh, misalnya. Maka terus saja akan berulang dan berulang terlebih jika ‘mereka’ tahu bahwa we enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought.
Maka tidak ada jalan lain, ‘serangan balik’ itu harus dari ‘pihak lain’. Artinya, katakanlah ‘spiral megalomania’ itu jangan dibiarkan ‘menepati hukum alam’-nya sendiri. Dari pengalaman Trump kita bisa belajar banyak bagaimana ‘spiral megalomania’ dalam diri Trump itu sudah dirasakan mengancam hidup bersama di AS sono, terutama soal demokrasi yang selalu diagung-agungkan itu. Mengancam pula ‘bangunan bawah’ yang lekat dengan creative destruction itu. Untunglah ada respon tepat dari masyarakat sana dengan ditampakkan dari hasil pilpresnya, dan itu pertama-tama adalah karena adanya ‘pihak lain’ yang dijamin kebebasannya dalam melakukan counter terhadap bermacam tebaran alternative facts yang sudah ugal-ugalan dari Trump dan timnya. Bukan soal tesis-antitesis-sintesis, tetapi adalah soal ketegangan antara tesis-antitesis dengan sintesis yang bersifat sementara. ‘Kenikmatan’ puncak kreatifitas yang selalu ‘diancam-dihancurkan’ oleh dinamika kreatifitas lainnya. Maka pastilah tidak akan Trump atau Mike Pence wakilnya akan direkrut sebagai salah satu menterinya Biden nantinya. Jika ya, itu adalah dekat dengan merangkaknya ‘bunuh diri’. Status quo-lah. *** (11-01-2021)