18-4-2018
Bagaimana kita harus hidup dan bertindak dalam ranah demokrasi? Begitulah semestinya pertanyaan yang dijawab oleh Joko Widodo selaku presiden di hadapan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Selasa, 17 April 2018 di Bandung. Jokowi mengatakan: “Jadi kalau ada yang pesimis, ada yang menakuti-nakuti, diajak untuk pesimis ya jangan mau. Oleh sebab itu, saya mengajak agar kita semuanya membawa negara ini kepada kebudayaan politik, pada budaya politik yang penuh etika.” Selanjutnya ditekankan oleh Jokowi: “Bukan politik yang membawa perpecahan, bukan politik yang saling menghujat, bukan politik yang saling mencela, bukan politik yang saling memaki. Itu bukan budaya politik Indonesia. Budaya politik Indonesia ya budaya politik yang penuh etika. Penuh kesopanan, sopan santun. Jangan mau dibawa ke arah-arah politik yang tadi saya sampaikan”.[1]
Tentu tidak salah Jokowi mengatakan hal di atas. Dalam tradisi sopan santun kita akan mengatakan bahwa menghujat, mencela, memaki bukanlah bagian dari kesopanan. Tetapi bicara soal etika tetaplah harus dilakukan lebih mendalam dari sekedar menderetkan berbagai petuah. Etika berusaha membantu kita untuk mencari orientasi, yang dalam bahasan ini orientasi terkait dengan bagaimana kita harus hidup dan bertindak dalam ranah demokrasi. Seperti dikatakan oleh Magnis Suseno, tujuannya adalah agar kita tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap berbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita dapat mengerti sendiri mengapa kita harus bersikap begini atau begitu. Etika mau membantu, agar kita lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupan kita.[2]
Maka bagaimana politik (kita) harus hidup dan bertindak dalam ranah demokrasi? Apakah politik (kita) bertindak dengan tidak menakut-nakuti, tidak membawa perpecahan, tidak saling menghujat, mencela, memaki, dan penuh sopan santun? Atau ada hal lain harus dilihat lagi secara perlahan?
Jika kita mulai dari istilah demokrasi itu sendiri maka itu berarti bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Masalahnya, jaman sekarang itu hanya bisa dilakukan dengan perwakilan atau kadang disebut sebagai demokrasi representatif. Bagaimana kita memilih perwakilan kita? Atau yang duduk di eksekutif? Melalui pemilihan, baik itu pemilihan legislatif maupun eksekutif. Yang terpilih nantinya, mereka akan menjadi pelaksana kekuasaan negara, dan dalam negara hukum, pelaksanaan kekuasaan negara itu dipandu dan dibatasi oleh hukum. Hukum tanpa pelaksana negara yang efektif akan menjadi macan ompong. Tetapi pelaksana negara tanpa hukum bisa semena-mena. Masalahnya adalah, apakah mengingkari janji-janji saat kampanye bisa disebut melanggar hukum? Ternyata tidak. Tidak hanya janji-janji yang bisa diingkari, tetapi bahkan yang terpilih sebagai pelaksana negara-pun bisa mengintrodusir pembuatan hukum, dan atas nama hukum itu pulalah dia kemudian membuat kebijakan yang justru berlawanan dengan janji-janji kampanyenya. Dan disinilah sebenarnya kita bisa mengintrodusir masalah etika.
Dengan mengintrodusir masalah etika dalam ranah demokrasi, terutama terkait dengan janji-janji kampanye terungkap, maka kita bisa berharap untuk dapat perlahan berkembang menuju, meminjam istilah Alasdair MacIntyre, “manusia-yang-mungkin-seandainya-ia-merealisasikan-kodrat-hakikinya” (‘man-as-he-could-be-if-he-realised-his-esensial-nature’). Berkembang dari kondisi “manusia-seadanya” (‘man-as-he-happens-to-be’).[3] Maka jika seseorang memenangkan pemilihan dan di kemudian hari terbukti terlalu banyak janji yang diingkari, kita menjadi sangat bisa untuk mengatakan dengan lugas, dia menang dengan tidak etis. Tidak hanya tidak etis, tetapi ia membahayakan demokrasi itu sendiri dengan telah berlaku layaknya sebagai seorang demagog yang menebar janji-janji bombastis.[4] Banyak tulisan sejak jaman Plato-Aristoteles, bagaimana peran demagog dalam mencederai demokrasi.[5]
Maka jangan-jangan mencela, memaki, menghujat itu sebenarnya masalah etiket saja. Tentu kita tidak mau ‘the set of rules or customs that control accepted behaviour in particular social groups or social situations’[6] berkembang sekelam itu. Dalam pewayangan ada tokoh yang betul-betul tidak tahu etiket, tidak tahu sopan santun, tetapi jangan ditanyakan lagi soal kemauan berkorban dan kesetiaannya pada negara bangsanya. Tapi di satu sisi, dalam film Catch Me If You Can, produksi tahun 2002 dengan bintang utama Leonardo DiCaprio dan Tom Hank, yang penuh etiket dan sopan –jarang mencela, memaki dan menghujat, wajah manis dan lugu itu ternyata penipu ulung. *** (18-4-2018)
[1] http://www.teropongsenayan.com/85337-di-depan-kader-pmii-jokowi-bicara-politik-beretika
[2] Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar. Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Kanisius, 2002, cet-13, hlm. 14
[3] Franz Magnis-Suseno, Etika Abad Kedua puluh, Kanisius, 2010, cet-5, hlm. 210
[4] Lihat: Kambing Hitam Itu, http://pergerakankebangsaan.com/029-Kambing-Hitam-Itu/
[5] Lihat: Michael Signer, Demagogue. The Fight to Save Democracy form its Worst Enemies, Palgrave Macmillan, 2009
[6] Etiquette: the set of rules or customs that control accepted behaviour in particular social groups or social situations, https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/etiquette
Leonardo dalam Catch Me If You Can