16-10-2019
‘Puncak intelektual’ Paulo Freire dan Stanley Milgram kira-kira ada di rentang waktu yang sama, sekitar awal dekade 1960-an sampai pertengahan dekade 1970-an. Atau sekitar sejarah super-kelam melanda republik. Atau kalau dihitung dari keganasan Hitler dan Nazinya itu, sekitar 20-25 tahun kemudian. ‘Irisan’ yang mau dilihat antara Freire dan Milgram dalam kesempatan ini adalah soal ‘fanatisme’.
Keterlibatan dalam bangunan storytelling republik, atau proses-proses sejarah republik memerlukan pengembangan kekuatan-kekuatan refleksi yang ujungnya adalah meningkatnya kemampuan untuk memilih. Pengembangan pada masyarakat diam dengan kesadaran semi-intransitif perlu dilakukan. Manusia dengan kesadaran semi-intransitif tidak dapat memahami masalah-masalah yang berada di luar lingkungan biologis. Keinginan mereka semata-mata tertuju pada sekitar kelangsungan hidup.[1] Menjadi transitif menurut Freire adalah ketika manusia meningkatkan kemampuan untuk menangkap dan menanggapi masalah-masalah yang berasal dari lingkungan mereka, dan mengembangkan kemampuan dialog tidak hanya dengan sesama tetapi juga dengan dunia. Kepentingan dan minat mereka kini berkembang tidak hanya pada kebutuhan biologis semata.[2]
Menurut Freire, terlepasnya kesadaran semi-transitif ke kesadaran transitif pada awalnya masih ditandai oleh sikap naif yang menyolok.[3] Buku yang menjadi acuan di sini merupakan esai Freire di tahun 1965, dan digambarkan bahwa ‘kesadaran transitif-naif merupakan tingkat kesadaran yang menguasai kota-kota besar di Brasilia selama masa transisi, yang ditandai dengan penyederhanaan masalah-masalah secara berlebihan.’[4] Dilanjutkan oleh Freire: “Kesadaran transitif-naif adalah kesadaran dari manusia yang masih menjadi bagian dari massa, di mana perkembangan kemampuan dialog masih rapuh dan mudah diselewengkan. Jika kesadaran ini tidak berkembang ke tingkat kesadaran transitif-kritis, maka kesadaran ini mungkin akan dapat diselewengkan menjadi fanatisme.”[5] Dan mudah masuk dalam masifikasi. “A massified society is one in which the people, after entering into the historical process, have been manipulated by elite into unthinking, manageable agglomeration; this process is called massification. It stands in contrast to conscientizacao, which is the process of achieving a critical consciousness,” demikian Paulo Freire.
Setelah di tahun 1961 mengikuti persidangan Adolf Eichmann di Jerusalem, Hannah menerbitkan laporannya di tahun 1963 dengan judul Eichmann in Jerusalem, A Report On The Banality Of Evil.[6] Apa yang disebut Arendt dengan ‘banality of evil’ ini erat dengan ‘ke-tidak-berpikiran’, unthinking. Setelah terbitnya laporan Hannah Arendt, Stanley Milgram ‘menguji’ pendapat ‘kontroversial’ Hannah Arendt tersebut. Dalam sebuah percobaan penelitiannya, ada seorang ‘guru’ sebagai yang diteliti. Ada ‘murid’ yang akan diberi pertanyaan oleh ‘guru’ tersebut. ‘Murid’ ini diperankan oleh aktor dan dihubungkan dengan ‘kabel-kabel listrik’ untuk memberikan ‘kejutan’. Satu lagi seorang ‘pengawas’ yang mendampingi ‘guru’.
‘Guru’ sebagai yang diteliti diperankan oleh bermacam orang dengan bermacam latar belakang. Si-‘guru’ ini akan memberikan pertanyaan pada si-‘murid’ dan jika ‘murid’ menjawab salah ia dihukum dengan ‘sengatan listrik’ oleh ‘guru’ dengan menekan tombol di depannya. Hukuman pertama dengan voltase rendah, dan ‘murid’ yang diperankan oleh aktor itu pura-pura akan kaget. Jika salah lagi beri ‘hukuman’ lagi, voltase dinaikkan sampai pada ‘puncak hukuman’ tertinggi, voltase tinggi dan si-‘murid’ sampai merengek-rengek untuk dihentikan karena sangat kesakitan. Tentu ini hanya ‘aksi-peran’ saja dari si aktor. Si-‘pengawas’ yang tidak jauh dari si-‘guru’ akan memberi peringatan jika si-‘guru’ menjadi mulai ragu-ragu memberikan hukuman pada si-‘murid’.
Hasilnya? Bahkan si-‘guru’ yang sebagai ‘obyek penelitian’ itu berlatar belakang pendeta, guru, doktor, anggota terhormat dalam masyarakat, mau saja memberikan ‘hukuman’ tertinggi berupa ‘sengatan listrik voltase tinggi’ dan bahkan di depannya sang-‘murid’ yang mengiba-iba untuk dihentikan dan nampak kesakitan. Sebagian besar mau dan ‘tega’. Seakan ‘evil’ itu sudah menjadi ‘banal’ saja.
Apakah dengan melihat yang terjadi dalam ‘laboratorium’-nya Milgram itu kita sudah bisa menarik kesimpulan? Kita juga harus ingat bagaimana ‘rekrutmen’ para relawan sebagai obyek penelitian itu. Para relawan itu mendaftar sebagai relawan (yang dibayar 4 dollar per jamnya) dengan tidak sadar bahwa dirinya-lah yang sedang diteliti karena pengumuman dalam rekrutmen itu adalah: “Persons Needed for a Study of Memory”.[7]
Dan bagaimana jika di sebuah republik pengumuman rekrutmennya itu berbunyi: “Persons Needed for a Study of Radicalism”? Akankah bahkan si-cebong-pun akan juga sedemikian ‘tega’ dan ‘ganas’nya? Juga yang bergelar bermacam itu. Dan tuh lihat ...., bagaimana sebagian dari si-‘pengawas’ yang terus saja mondar-mandir di ruang publik dan seakan tidak tersentuh hukum. Ati-ati ... cuk. *** (16-10-2019)
[1] Paulo Freire, Pendidikan Yang Membebaskan, Penerbit Melibas, 2001, hlm. 19-20
[2] Ibid, hlm. 20
[3] Ibid, hlm. 21
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem, A Report on the Banality of Evil, The Viking Press, 1964
[7] Stanley Milgram, Obedience to Authority, an Experimental View, Tavistock, 1974, hlm. 15