www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-09-2020

Tidak mudah menjadi orang J, orang Jerman dan Jepang. Yang tidak hanya kalah perang di Perang Dunia II, tetapi juga menyimpan catatan kelam holocaust dan porak-porandanya dua kota besarnya karena bom atom. Tetapi untunglah mereka mempunyai kesamaan yang secara tidak langsung ikut mendorong kebangkitan pasca porak poranda, mereka sama-sama menyukai Beethoven. Terlebih Simfoni No. 9 yang begitu disukai di Jepang. Simfoni No. 9 ini juga menjadi ‘lagu kebangsaan’-nya Uni Eropa.

Menyelusupnya Beethoven ke Jepang melalui rute unik. Ketika Perang Dunia I pecah, Jepang condong pada pihak Inggris. Tentara-tentara Jerman yang ada di Cina saat itu kemudian ditangkap dan sebagian kemudian masuk penjara di Jepang. Selama di penjara, tentara-tentara Jerman itu salah satunya membuat konser musik klasik, termasuk karya-karya Beethoven. Ketika perang berakhir, tentara-tentara itu dilepaskan. Tetapi menunggu jemputan untuk pulang ke Jerman, ternyata membutuhkan waktu berbulan-bulan. Di masa menunggu itu tentara-tentara itu menggelar konser di hadapan warga Jepang. Karya Beethoven juga ditampilkan. Warga Jepang ternyata dengan mudah menyerap dan menikmati konser musik klasik itu. Ternyata lebih dari 50 tahun sebelumnya, sekitar tahun 1860-an, musik klasik barat telah diperkenalkan di Jepang. Jika mengambil istilah Clotaire Rapaille, kode-kode kultural terkait dengan musik klasik barat sudah tersebar lebih dari 50 tahun lamanya.

Beethoven sendiri adalah pribadi yang unik. Ia lahir memang dengan penuh bakat di bidang musik. Karya-karyanya dikatakan oleh banyak orang sebagai ‘out of the box’. Ia melakukan terobosan-terobosan. Dan pengaruhnyapun bisa dikatakan sampai pada bermacam jenis musik. Group rock asal Jerman, Scorpion-pun mengakui pengaruh Beethoven dalam beberapa karyanya. Karya-karya puncak Beethoven bahkan ada yang lahir setelah ia kehilangan fungsi pendengarannya. Karena adanya sklerosis atau pengapuran di bagian-bagin organ dalam telinga. Sempat membuat depresi, tetapi kemudian bangkit lagi.

Dalam Pendidikan Klasik, dikenal adanya trivium dan quadrivium. Trivium dikatakan oleh Sr. Miriam Joseph sebagai the three arts of language pertaining to the mind yang terdiri dari logic (art of thinking), grammar (art of inventing and combine symbols), dan rhetoric (art of communication). Trivium ini akan mendasari quadrivium yang merupakan the four arts of quantity pertaining to matter dan terdiri dari arithmetic (theory of number), music (application of the theory of number), geometry (theory of space), dan astronomy (application of the theory of space).[1] Penghayatan akan musik sejak usia dini, menurut pendidikan klasik bisa diartikan akan memperbesar ‘kelincahan’ dalam keakrabannya dengan angka-angka di kemudian hari. Musik yang akrab dengan ketukan, dengan nada-nada tinggi-rendahnya, dan segalanya yang melekat dalam indahnya sebuah musik. Tentu tidak hanya musik klasik tetapi bermacam jenis musik atau genre, bahkan jika itu hanya ‘modal’ mulut saja. Bayangkan jika anak-anak kita selama pendidikan dasarnya (SD-SMP) -paling tidak, akrab dengan musik ini, terus menerus tanpa harus dikejar dengan apa itu yang namanya kompetensi. Dalam keriangan ia ‘bermain-main’ dengan ‘angka-angka’.

Tentu musik bukanlah sebuah ‘panacea’ bagi hidup bersama. Lihat saja, bukankah musik klasik berkembang lama di Eropa, dan tetap saja berapa perang terjadi di sana? Puncaknya adalah Perang Dunia I dan II itu. Bahkan Beethoven sendiri pernah mempersembahkan sebuah komposisi bagi Napoleon, yang terus disesalinya ketika Napoleon mengangkat dirinya sebagai kaisar. Atau lihat lagu asli yang di sini diplesetkan sebagai lagu Pak Dengkek itu. Lagu yang dulu di AS sono digunakan untuk mengantarkan serdadu-serdadu berangkat perang. Edmund Husserl di awal abad 20, mengintrodusir soal lifeworld, dunia kehidupan yang dihayati orang per orangnya sehari-hari. Suatu yang dirasakan seakan ‘melenyap’ digantikan dengan dunia yang diklaim serba ilmiah, dan tidak hanya berhenti di situ, tetapi juga klaim-klaim yang ingin mengatakan dunia ya seperti itu. Dunia yang ‘didefinisikan’ secara obyektif-ilmiah. Padahal jika yang ilmiah itu erat terkait dengan pembuktian, dalam lifeworld-pun juga erat terkait dengan ‘rentetan-pembuktian’.

Lifeworld jelas juga bukan hal yang statis. Lihat bagaimana bermacam ‘kode-kode kultural’ itu perlahan menyelusup ikut ‘mewarnai’ dunia penghayatan sehari-hari kita. Tidak hanya mewarnai, bahkan bisa-bisa katakanlah ‘mengkoloni’ dunia penghayatan kita. Maka tidak berlebihanlah jika kita menunjuk pentingnya apa yang disebut trivium dalam pendidikan klasik itu, soal logic, grammar, dan rhetoric seperti disebut di atas. Ketiga hal ini akan memperkaya ‘daya-penghayatan’ dalam mengarungi hidup sehari-hari. Terlebih ketika nantinya akan berhadapan dengan kompleksitas ruang dan angka dalam pendidikan quadrivium. Ataupun dalam realitas sehari-hari.

Sekitar 46 tahun lalu Prof. Sumitro Djojohadikusumo menulis di Prisma dan membedakan langkah mengembangkan tekhnologi supaya mengingat pembedaan yang diajukannya, yaitu advanced technology, adaptive technology, dan protective technology.[2] Ketiga-tiganya supaya dilakukan secara bersama-sama. Apa yang bisa kita bayangkan atau kembangkan dari pemikiran Prof. Sumitro ini? Dalam konteks tulisan ini, pembedaan ini adalah bisa dimaknai supaya teknologi dan pengembangannya bisa benar-benar ‘selalu terhubung’ dengan perkembangan manusia-manusia yang menghayatinya. Terlebih dengan pengembangan adaptive dan protective technology-nya. Keterhubungan ini jelas bukanlah sekedar ada dalam ‘ruang-ruang kelas’ saja, tetapi kongkret terkait dengan masalah-masalah riil dalam hidup bersama. Lihat apa yang dimaksud dengan adaptive dan protective technology itu. Terlebih ketika wacana perubahan iklim yang semakin meluas seperti sekarang ini.

Lalu bagaimana dengan ‘teknologi pikiran’ yang bernama ideologi itu? Meminjam istilah Prof. Sumitro di atas, kiranya perlulah keringat yang lebih besar dalam dinamika ‘adaptive ideology’ dan ‘protective ideology’ selain tentu ‘advanced ideology’-nya. Supaya hidup sehari-hari tidaklah menjadi begitu mudah ‘terkolonisasi’ oleh sihir ‘advanced ideology’ itu. Atau kalau meminjam istilah si-Bung dengan terjemahan bebas, romantika-dinamika-dialiektika. Karena dimana-mana, ketika pikiran itu sudah ‘terkolonisasi’, kekelaman sejarah menjadi begitu dekat membayang. Kenapa? Kata Spinoza, desire is the very essence of man, dan dalam kemampuan berpikirlah gejolak hasrat akan mempunyai potensi lebih untuk dijinakkan. Bahkan ketika pilihannya adalah hasrat yang dilawankan dengan hasrat lainnya. *** (28-09-2020)

 

[1] Sr. Miriam Joseph,The Trivium,  hlm. 3

[2] https://pergerakankebangsaan.com

/431-Belajar-Dari-Prof-Sumitro-Djojohadikusumo/

Tidak Mudah Menjadi Orang J