22-04-2019
Napoleon menggambarkan pertempuran antara pasukan kavaleri Perancis yang sebenarnya penunggang kuda yang buruk tetapi mempunyai disiplin tinggi, melawan kaum Mameluk yang merupakan penunggang-penunggang kuda terbaik tetapi berdisiplin rendah, sebagai berikut:
"Dua Mameluk tidak diragukan lagi akan dengan mudah mengalahkan tiga pasukan kaveleri Preancis; 100 Mameluk sama kuat dengan 100 pasukan Perancis; 300 pasukan kaveleri Perancis umumnya akan mengalahkan 300 mameluk, dan 1.000 kaveleri Perancis akan selalu mengalahkan 1.500 Mameluk.” (Engels, Anti-Duhring, 1877)
Atau bayangkan seorang koki, atau anak kost, atau emak-emak sedang memasak. Kurang asin, ditambah garam lagi. Masih kurang, ditambah garam lagi, dan tiba-tiba saja terasa pas, nikmat. Jika ditambah lagi, kuantitas garam yang menjadi berlebih itu akan menjadikan rasa tidak karu-karuan. Inilah gambaran sederhana bagaimana kuantitas berubah menjadi kualitas. Atau lihatlah, satu tetes air jelas tidak akan mampu melubangi batu, tetapi beribu-ribu tetes air secara berturutan? Atau kita memanaskan air. Panas dari waktu-ke-waktu terus ditambahkan, sampai pada titik suhu 100 derajat Celcius, air berubah menjadi uap air.
“Segala hal mengalir dan tak satupun yang tinggal diam”, demikian Heraclitus menandaskan. Hal yang akan lebih nampak jika kita melihat lebih jauh dari ‘reaksi’ atas logika garis lurus, jika A di-quick-count-kan menang, dan kemudian A di-real-count-kan menang juga, maka A akan menang. Ketika alur itu ternyata alur penuh riak-gelap dan kelicikan bermacam pelaku yang berlindung di balik metodologi ilmiah yang sudah di-telikung pula serta ugal-ugalannya ‘input data’, ternyata ada yang tidak tinggal diam. dan tidak hanya ada, tetapi semakin banyak dan banyak.
Antara pendakuan secara ugal-ugalan akan hasil ternyata pada saat yang tidak jauh berbeda menghasilkan pula ‘gerakan’ pengkoreksiannya. Jika gerakan koreksi ini semakin membesar, dan senyatanya memang sudah membesar layaknya sebuah ‘proses molekuler dalam revolusi’ dan ketika sampai pada ‘titik didih’-nya, ia tidak sekedar penjumlahan banyaknya laporan kecurangan, tetapi akan mengubah ‘kualitas-penghayatan’ akan kepercayaan pada sebuah institusi, misalnya. Jika respon (institusi) terhadap pengkoreksian yang sudah semakin mendekati ‘titik-didih’ ini hanyalah ala-kadarnya saja, atau tetap bertahan atau mempertahankan diri pada ‘logika garis lurus’ seperti di sebut di atas, maka bisa-bisa yang dipertaruhkan lebih dari sekedar masalah kepercayaan pada institusi penyelenggara. Republik yang dipertaruhkan.
Jika esensi koreksi adalah transparansi maka tidak bisa tidak responnya juga mesti juga soal transparansi. Jika koreksi adalah juga soal bermacam penyimpangan maka responnya mestinya juga bagaimana penyimpangan itu dikoreksi melalui hukuman atau jalan lain. Dan perbaikan terukur lainnya. Respon di luar itu termasuk dalam hal ini dengan menakut-nakuti misalnya, tidak akan pernah berhasil menghentikan proses-proses molekuler yang sedang berlangsung.
Jika proses-proses molekuler itu terus berjalan, dan semakin mendekati titik-didihnya, e-people power bisa dikatakan sudah di akhir masa dalam kandungan. Pecah ketuban sudah terjadi dan proses kelahirannya tinggal menunggu waktu. Jika e-people power ini diantisipasi secara salah, misal antisipasi seakan masih hidup di abad XX, maka bukannya tidak mungkin melanjut pada ‘jumpa-darat’. Bentuk lain dari people-power yang jika itu berlangsung damai pasti akan mendapat simpati dunia internasional.
Benih akan menegasi dirinya dengan berubah menjadi tanaman muda. Tetapi jika benih itu diinjak sampai hancur, jelas ia tidak akan tumbuh. Dan kesempatan untuk memperoleh tanaman terbaik dari benih terbaik-pun akan hilang persis di depan mata. Tetapi jika kita memberikan lingkungan yang baik di sekitar benih itu, kita bisa mempunyai kesempatan mendapatkan tanaman terbaik dari benih terbaik. Kita ingin hidup bersama ini bisa berkembang maju salah satunya melalui jalan demokrasi. Benih-benih disebar di lapangan demokrasi, dan kita berharap benih-benih terbaik juga akan tumbuh. Segala bentuk kecurangan adalah kondisi buruk bagi tumbuhnya benih-benih itu. Apalagi jika bermacam bentuk sepatu malah menginjak-injaknya benih yang ditabur.
Jika dulu resep ‘garis lurus’ itu berhasil bukan berarti lima tahun kemudian mesti berhasil. “Segala hal mengalir dan tak satupun yang tinggal diam”, demikian Heraclitus menandaskan seperti sudah ditulis di atas. Bahkan Machiavellipun dalam Sang Penguasa menulis:
“Karena itu saya mengambil kesimpulan bahwa dewi fortuna atau nasib mujur dapat berubah-ubah dan orang yang memegang teguh cara-cara mereka, akan berhasil selama cara-cara itu sesuai dengan situasi, tetapi kalau cara-cara itu berlawanan (dengan situasi yang berkembang), maka mereka akan mengalami kegagalan.” [1]
Machiavelli meneruskan:
“...karena dewi fortuna adalah seorang wanita, dan jika Anda ingin menguasainya, Anda perlu mengalahkannya dengan paksa.”[2]
Maka, berharap yang terbaik sekaligus bersiap terhadap yang terburuk adalah sikap yang bijak. *** (22-04-2019)
[1] Nicollo Machiavelli, Sang Penguasa, hlm. 104
[2] Ibid, hlm. 105