06-06-2021
Jan-jané, awak-awak iki arep diapaké, cuk? Arep di-othak-athik bèn dadi opo, cuk? Sebenarnya kita itu mau diapakan? Pertanyaan lanjutan karena sudah tidak bisa berhenti lagi pada pertanyaan: “Kita itu sebenarnya dianggap apa?” Atau bahkan pada keluhan: “Republik macam apa yang kami miliki ini?” Mau dibuat semacam warga kelas dua, atau bahkan kelas tiga? Kelas embèk, wedhus gèmbèl untuk supaya nantinya akan mudah ditaklukkan?
Kalau kita mengikuti jalan pemikiran George Lakoff dalam menggambarkan si-kanan jauh itu, faksi Partai Republik yang paling ujung itu, seakan-akan pertanyaan itu sedang ditujukan pada satu kekuatan a la strict-father. Sosok si-Rambo yang ber-‘otot’, paling serba tahu, dan anggota keluarga lain harus nurut abis. Kalau nggak boleh berangkat ke sana misalnya, yang nggak usah berangkat, jangan banyak tanya lagi! Tidak berangkat ya tidak berangkat, titik. Dan cukuplah dengan pemberitahuan: “woro-woro ...” itu. Saya adalah si-kepala keluarga, paling tahu mana yang terbaik, maka manut saja! Ndak usah aèng-aèng. Ndak usah minta dihormati atau di-empati-i segala! Macem-macem saja!
Itulah sebenarnya penghayatan kaum konservatif terlebih sayap kanan jauhnya, res-publika akan dihayati layaknya sebuah keluarga saja, dengan kepala keluarga ya si-strict father itu. Si-penjaga ‘nilai-nilai adiluhung’. Karena di luar sana penuh mara-bahaya. Manusia-manusia yang siap menerkam manusia lain, survival of the fittest abis. Manusia-manusia yang pada dasarnya buruk itu. Maka tidak heran juga jika si-kanan jauh itu pegang kuasa, nuansa gelut –berkelahi, akan semakin pekat membayangi tingkah-lakunya. Manusia gelut itu nature-nya manusia. Alamiah-nya manusia.
Bagaimana jika si-kanan jauh itu tidak menemui ‘lawan tanding’ yang sebanding? Atau bahkan bisa dikatakan paling tidak merasa enteng-enteng saja melenggang seakan tanpa lawan sama sekali? Ya bisa umpak-umpak-an, cuk. Bisa petentang-petenteng semau-maunya, ugal-ugalan abis. Ketika melakukan sesuatu yang ‘tidak biasa’, dan ketika ada warga mempertanyakan, dalam kepala hanya ada satu jawaban: “Emangnya loe mau apa?!” Atau modifikasinya: “Pala loe pèyang!” Tidak ada itu yang namanya ‘devil’s advocate’ karena dalam dirinya sendiri sudah berkembang layaknya ‘devil’. Si-serigala. Homo homini lupus est. Maka ‘cita-rasa’ hidup bersama-pun lama-lama hanya akan memberikan kegundahan saja. Simpati, empati akan semakin tergerus. Main kuasa akan menjadi kebiasaan saja. Gasak sana gasak sini tetapi ketika diajak debat mangkir! Si-strict father karena merasa sudah tanpa lawan tanding itu, bahkan seorang pengecut-pun diangkatlah sebagai pimpinan. Sukanya main belakang, sukanya main tas-tes sana sini, tetapi saat diajak debat mlipir-nya kemana-mana.
Amerika di tangan Republik ala D. Trump dan kaum fundamentalisnya itu dan jika tanpa lawan tanding sebanding dalam negeri, bayangkan saja Korea Utara seperti sekarang ini. Amerika bisa menjadi negara kapitalis dengan badan otoritariannya yang terbangun dalam logika spoils system[1] ini, bahkan katakanlah, sampai akar rumputnya jika itu diterus-teruskan. Spoils system sampai kelurahan-desa-desa, misalnya. Lalu apa bedanya spoils system itu dengan Partai Komunis yang mengawasi segala halnya sampai ke akar rumput itu? Sedang Korea Utara, negara otoriter dengan kapitalisme penuh di shadow economy-nya. Masih minus tax-amnesty tentunya, paling tidak sampai sekarang. Perlu belajar banyak tuh sama republik. Sementara di banyak pedesaan, sihir ‘sang juru selamat’ keluarga si-Kim itu sebagai ujung tombaknya. Dan terus-menerus Kang Marhaen di pedesaan Korea Utara itu tetaplah dalam pelukan kemiskinan kronisnya. Yang diminta oleh si-Kim dan orang-orang sekitar, jika ke kota dan menemui foto junjungannya, harus berhenti dan memberi hormat. “Wahai pengikut-pengikutku, berikanlah hormatmu pada pemimpin. Tanpa hormatmu aku akan loyo,” demikian mungkin pikir mereka. Energi besar dari para pengikut yang diserap oleh pemimpinnya, tetapi setelah terkumpul di tangan pemimpin energi itu pertama-tama adalah demi hidup pemimpin dan kroni-kroninya. Menggemukkan diri dan konco-konconya lebih dulu. Sementara si-pengikut tetaplah kurus kering seperti biasanya. Penggalan sejarah yang sering berulang di sana-sini.
Dalam nuansa patron-klien yang digambarkan oleh Kuntowijoyo di sekitar awal abad 21 ini (Mentalitas Bangsa Klien, Kompas, Desember 2004) –apalagi dalam komunitas dengan power distance tinggi, jika ketemu si-patron memang pas mak-nyus maka bisa saja itu sebuah kekuatan. Tetapi berapa banding berapa hingga bisa ketemu patron yang mak-nyus itu? Bagaimana jika misalnya ketemunya si-patron itu model kayak si D. Trump itu? Yang di-kibul-kan bahwa bulan Agustus mendatang akan kudeta Biden, kembali ke tampuk kekuasaan di AS sono? Atau yang terus saja omong di sana-sini bahwa ia pasti kembali ke Gedung Putih? Tentu Trump boleh-boleh saja bilang begitu, bebaslah di sononya itu, masalahnya apa dampaknya ke-‘klien-klien’-nya yang masih bertebaran di luar AS sono itu? Merepotkan saja orang itu! Bullshit-lah! *** (06-06-2021)
[1] https://www.pergerakankebang
saan.com/730-Spoils-System-dan-Bahayanya/