09-06-2020
“Through welfare to liberty,” yang merupakan ‘slogan’ Friedrich List itu harus diletakkan dalam konteks yang tergambarkan dari ungkapan List di Philadelphia tahun 1827: “I here with declare war against the system of Adam Smith on behalf of the American System of political economy.” List mempelajari juga secara intens bagaimana kemiskinan di antara 300 juta pendudukdi China saat itu justru dimiskinkan oleh perdagangan bebasnya dengan Inggris. Selain itu saat di Amerika, List juga mempelajari argumentasi Alexander Hamilton terkait dengan proteksi untuk melindungi ‘infant industry’-nya. Bahwa dengan argumentasi itu kemudian Amerika bisa lolos dari terkaman perdagangan bebas Inggris dan meraksasa, dan kemudian setelah itu malah melarang-melarang negara lain untuk tidak proteksionis, itu cerita lain. Dan dapat dilihat di Ha Joon Chang, Kicking Away The Ladder (2002).
Pelajaran amat berharga dari sejarah republik, kita harus hati-hati melihat soal argumentasi ‘infant industry’ ini, terutama soal konteksnya. Konteks saat itu di AS adalah soal patriotisme sering masuk secara mendalam di banyak kalangan. Argumentasi ‘infant industry’ ini disampaikan Alexander Hamilton di tahun 1790, sekitar 14 tahun setelah kemerdekaan Amerika dideklarasikan. Jadi salah satu yang dimungkinkan argumentasi itu berhasil dalam pelaksanaannya adalah soal patriotisme. Yang sungguh sadar bahwa segala fasilitas perlindungan itu sifatnya adalah sementara. Tidak hanya itu, untuk meningkatkan daya saing maka dikembangkanlah si-‘visible hand’, pendidikan dalam hal manajemen administrasi di kemudian hari yang berkembang cepat setelah Perang Saudara.
Mengapa patriotisme ini penting? Segala fasilitas khusus ini sangat-sangatlah ‘menyenangkan’ dan bisa-bisa menjadi mabuk untuk terus-menerus minta perlindungan khusus pada negara dan lebih suka menjadi ‘bayi-anak-anak’ dari pada menjadi ‘dewasa’ untuk bertempur di pasar global. Rent seeking activity bisa-bisa kemudian merebak. Monopoli-oligopoli. Aktifitas pemburuan rente ini justru akan menjadi kontra-produktif dalam banyak hal. Patriotisme, khususnya pada pengelola negara akan menjadi energi utama dalam menghindari ‘bablasan infant industry’ ini. Tentu ini (patriotisme) bukan satu-satunya, sebab sebagai pengelola negara ‘musuh’ utama letaknya adalah di hasrat. Bahkan ‘hasrat bablasan’ yang ada dalam hal ke-patriot-an ini. Maka, soal bagaimana hasrat ini dikontrol oleh hasrat juga menjadi sangat penting. Bagaimana soal eksekutif, legislatif, yudikatif, pers, dan masyarakat sipil semestinya juga ikut dikembangkan. Karena bagaimanapun juga, “through welfare to liberty” tanpa dikontrol oleh “through liberty to welfare” bisa-bisa liar juga, ‘welfare’-nya itu untuk siapa?
Konteks patriotisme dalam argumen ‘infant industry’ ini di belakangnya bisa kita raba adalah soal kedaulatan. Tentu Inggris sangat keberatan dengan merdekanya Amerika di tahun 1776 itu. Dan di sisi Amerika, kedaulatan menjadi hal yang harus diperjuangkan bersama saat itu. Apalagi setelah itu, menurut List, Inggris mempunyai keinginan kuat untuk memposisikan negara baru itu sebagai penanghasil produk-produk pertanian dan bahan mentah saja. Industri yang membuat Inggris berjaya saat itu, biar di Inggris saja. Do what we say, not as we do, kira-kira begitu yang diinginkan.
Apakah argumentasi ‘infant industry’ ini kemudian menjadi semacam ‘perencanaan terpusat’ sebagai bandul kontranya bebasnya pasar laissez-faire Adam Smith? Bukan perencanaan terpusat, tetapi apa yang kemudian disebut ‘indicative planning’. Mungkin pengalaman republik semacam GBHN atau Repelita-repelita itu. Atau juga sekarang kita mengenal soal ‘proyek-proyek’ strategis itu. Negara tidak merencanakan secara detail, tetapi hanya menunjukkan arah dan tahap-tahapannya saja. Tetapi untuk yang swasta masing jauh dari mampu, misal untuk riset, negara turun tangan.
Satu dari pemenang nobel ekonomi terakhir pernah mengadakan penelitian di Indonesia, dan membandingkan ‘kesejahteraan’ antara yang mengecap pendidikan di SD Inpres jaman Pak Harto, dan yang tidak. Dan ternyata ditemukan bahwa yang lulus SD itu lebih mampu mendapat penghasilan lebih. Jika ada pembedaan antara capital, labor, dan land (Smith) yang berujung pada profit, gaji, dan uang sewa, List lebih menekankan soal productive forces yang sudah disebut oleh Alexander Hamilton di tahun 1791. Dan dalam pandangan List, faktor primer dari kekuatan produksi itu adalah ‘capital of mind’. Capital of mind ini pertama-tama adalah soal kreatifitas yang muncul dari komitmen atau entrepreneurship yang mendalam dan menjadi karakter. List tidak begitu menyukai spekulasi-spekulasi, maka kreatifitas dan entrepreneurship ini betul-betul diarahkan untuk ‘berlaga’ di ekonomi riil.
Kita bisa belajar dari Jerman soal ini, khususnya bagaimana pendidikan dikembangkan. Menurut Drost, jika dilihat dalam konteks populasi maka hanya 30% dari populasi saja yang akan bisa mengikuti jenis pendidikan di Universitas. Dan bisa kita lihat bagaimana Jerman sangat serius mengembangkan pendidikan Politekniknya. Mangapa? Supaya yang 70% itu juga mampu mengembangkan diri secara maksimal juga tanpa harus melalui jalur Universitas. Dan ketika baik yang mempunyai potensi di jalur Universitas maupun di Politeknik mendapatkan kesempatan mengembangkan diri secara maksimal, secara komunitas ini akan sangat menguntungkan bersama. *** (09-06-2020)