12-09-2022
Bayangkan anda bekerja di sebuah rumah sakit berbasis agama, maka katakanlah anda sebagai tenaga medis atau paramedis, ‘sifat menolong’ yang melekat pada pekerjaan anda itu bisa-bisa serasa di-‘booster’ oleh ajaran yang digendong oleh agama itu. Tidak hanya tenaga medis atau paramedis, tetapi juga petugas kebersihan, misalnya. Kesungguhan dalam membersihkan rumah sakit sampai di pojok-pojoknya itu sangat bisa di-booster oleh ajaran agamanya. Bahkan ketika pensiun yang diterimanya sungguh kecil-pun ia akan tetap bersyukur, karena hampir seluruh hidupnya telah diabdikan pada yang sungguh dicintainya. Apalagi setiap hari ia melihat-merasakan-dan-hidup bersama dengan ‘model’ –‘petinggi-petinggi’ dalam agamanya, yang juga seakan tanpa pamrih mengabdikan diri pada rumah sakit. Dan tentu melalui pelayanan pada pasien-pasiennya. ’Petinggi-petinggi’ yang tidak menikah karena ‘janji kemurniannya’, dan yang tidak berhasrat lagi memupuk kekayaan karena ‘janji kemiskinan’-nya. Padahal di luar itu hampir semua ingin atau sudah menikah dengan tanggungan anak. Dan tentu juga mempunyai hasrat untuk mempunyai lebih juga. Tetapi tetap saja pengabdian berpuluh-tahun itu dijalani dengan penuh kesungguhan, meski terus-menerus melihat yang bekerja di lembaga lain bisa mendapatkan lebih. ‘Dunia mitis’ itu ternyata juga bisa mendatangkan kebahagiaan dengan ukuran-ukurannya sendiri. Mungkin benar yang dikatakan oleh salah satu dosen dari eks-Jerman Timur yang dikutip Ignas Kleden dalam tulisannya Sosialisme dari Tepi Sungai Elbe (Kompas, 6 Juli 1996), katakanlah, ‘dunia mitis sosialisme’ itu hanya bisa berkembang atau bertahan jika ‘tidak diganggu’. Sebaliknya, ‘dunia mitis kapitalisme’ itu akan menjadi buas dan brutal jika ‘tidak diganggu’. Jika dibiarkan berlari sendiri. Kata ‘mitis’ memang ditambahkan, untuk ‘mempertanyakan’, apakah memang sosialisme itu akan secara terus-menerus steril dari gangguan? Atau juga kapitalisme itu akankah selalu bisa menekan habis-habisan ‘gangguan’-nya?
Jika Raja A adalah juga ‘utusan’ dari semesta, dan Raja A mempunyai anak B, maka jaman doeloe, si B akan menggantikan Raja A jika meninggal, dan sekaligus akan dihayati pula sebagai ‘utusan’ dari semesta. Jaman doeloe? Bukankah di jaman now juga begitu, misal naiknya Pangeran Charles sebagai raja menggantikan Ratu Elisabeth II. Yang menurut Liz Truss, PM Inggris pengganti Boris Johnson, the rock on which modern Britain was built. Apakah ‘modern Britain’ itu pada dasarnya adalah berani untuk mengarungi ‘samudra-kontradiksi’? Tidak hanya sebatas kolam di mana hanya kaum bangsawannya saja yang boleh berenang? Dan monarki yang ada dalam ‘zona nyaman’ itu adalah semacam ‘rute penyelamat’ jika ‘samudra-kontradiksi’ itu menjadi bergejolak tak terkendali lagi? Tentu ini akan melibatkan juga soal ‘tata-hukum’ yang disepakati, termasuk juga yang berkaitan dengan monarki. Dengan adanya hal tersebut maka akan ada rasa ‘percaya diri’ saat mengarungi ‘samudra-kontradiksi’ yang tidak hanya penuh gejolak, tetapi juga penuh kemungkinan. ‘Percepatan’ perluasan horison-pun akan semakin mendapatkan bahan bakarnya. ‘Tesis-antitesis-sintesis’ itu pada dasarnya adalah persoalan ‘perluasan horison’ juga karena ‘sintesis’ pastilah akan diharapkan lebih maju dari ‘tesis’ awalnya. Dimana ‘sintesis’ kemudian akan menjadi ‘tesis’ baru. *** (12-09-2022)