www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-09-2022

Bermacam berita tentang kegiatan si-terpilih dan relawan-nya ternyata tidak berhenti setelah pemilihan selesai. Masih saja muncul di sana-sini, seakan menggambarkan apa yang disebut Hegel sebagai ‘dialektika tuan-budak’ itu. Tetapi, apakah kemudian ada juga ‘dialektika partai dan petugas-partai’-nya?

Apakah memang dalam otak ada bagian yang terlibat dalam mirror-neuron system? Yang akan aktif dalam mengamati bermacam tindakan yang lain dan berusaha untuk tidak hanya memahami, tetapi juga cenderung untuk menirunya? Bahkan juga bisa mengembangkan sebuah empati? Atau sebuah penelitian di bidang ilmu jiwa, apakah ini juga terlibat dalam kelainan jiwa yang didorong oleh delusi dan halusinasi? Penelitian soal mirror-neuron system ini masih terus berkembang, tetapi di awal abad 19 Hegel melempar salah satu metafora menarik, ‘dialektika tuan-budak’. Si-tuan yang di ujungnya ia menjadi sangat tergantung pada si-budak, yang kemudian seakan sudah berubah menjadi si-tuannya tuan.

Menurut Hegel, kesadaran manusia tidak lepas dari sekitarnya. Dengan orang-orang lain. Tetapi kesadaran saya-lah yang menentukan, dan itu melalui ‘kesadaran’ orang lain itu. Jika saya ‘si-tuan’, maka orang lain sekedar ‘budak’ dari keinginan-keinginan saya. ‘Budak’ dari bermacam hasrat saya. Selanjutnya, tanpa disadari saya sudah sangat tergantung dari orang lain. Saya, ‘si-tuan’ menjadi tergantung pada ‘budak’. Tanpa kehadiran ‘budak’ tiba-tiba saja saya merasa kosong  tiada arti. Sementara itu si-budak juga tidak bisa lepas dari si-tuan karena melalui si-tuan seakan dia menjadi punya kesempatan untuk meraih keinginan-keinginannya. Hasrat-hasratnya. ‘Mekanisme umpan balik’ ini terus saja terjadi. Siapa tuan dan siapa budak seakan bergantian posisinya. Dalam konteks pejabat dan relawannya, paling tidak bisa kita lihat bermacam penampakan, bagaimana seakan relawan itu  berperilaku layaknya si-tuan saja.

Mengapa itu kemudian bisa nampak sebagai laku sok-sok-an? Mungkin benar juga penelitian mirror-neuron systems di bidang ilmu jiwa, yang kemudian mendorong munculnya delusi dan halusinasi itu. Ujungnya adalah sebuah sikap ‘schizophrenik sosial’. Melihat realitas di luar dirinya secara ‘nganeh-anehi’. Secara abnormal. Semau-maunya.

Lalu bagaimana dengan ‘dialektika partai-petugas partai’-nya? Itu sangat tergantung dari bagaimana partai memandang dirinya. ‘Lingkaran setan’ dialektika ‘tuan-budak’ bisa tidak terjadi dan kemudian tidak jatuh pada ‘delusi-halusinasi’ jika partai mampu menegaskan diri. Bisa? *** (07-09-2022)

Dialektika Pejabat dan Relawan-nya