01-09-2022
Mungkin benar tindakan kita itu akan dipengaruhi oleh ranah, ‘modal’, dan habitus, menurut Bourdieu. Maka ketika ‘konsep-konsep teologis’ itu kemudian ‘disekulerkan’ dalam bentuk ‘negara-bangsa modern’ seperti pendapat Carl Schmitt[1], masalahnya tidaklah semudah membalik tangan lagi. Ranah-nya saja sudah sungguh berbeda. Para pemegang ’modal’ tertingginya-pun akan berbeda pula. Bahkan bermacam ‘habitus’-nyapun juga akan berbeda. Yang sama adalah, sama-sama berurusan dengan manusianya.
Dalam Power Shift (1990), Alvin Toffler menggambarkan bagaimana adanya pergeseran power. Saat Revolusi Pertanian merebak, kekuatan dominan adalah kekerasan, dan bergeser ke kekuatan uang saat Revolusi Industri. Menurut Toffler, di abad 21 kekuatan pengetahuan akan menjadi dominan karena datangnya Revolusi Informasi. Menjadi ‘dominan’ bukan berarti kemudian menghapus yang lain. Fakta hari ini, Revolusi Informasi masih menampakkan bagaimana kuatnya kekuatan kekerasan dan uang itu. Atau jika kita membandingkan dengan pendapat dari Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, tahap mitis, ontologis, dan fungsionil itu bisa ada dalam waktu bersamaan. Meski masing-masing tahap tidak bisa dihayati soal ‘unggul-unggulan’, kita boleh saja berharap tahap fungsionil untuk berdiri paling depan. Maka meski rejim demokrasi sudah menjadi imajinasi banyak orang, bukan berarti rejim monarki dan aristokrasi kemudian punah pula dalam imajinasi. Istilah Empire dalam judul mengambil dari Negri dan Hardt, Empire (2000). Dimana di dalamnya Negri dan Hardt menyinggung juga soal mixed constitution, soal ‘rejim campuran’ yang sudah disinggung oleh Polybius lebih dari 2000 tahun lalu itu. Dark Empire karena yang ‘dicampur’ itu adalah rejim-rejim yang membusuk: tirani, oligarki, dan ‘mob rule’.
Bagi sang-dalang, bayang-bayang ‘laporan’ Polybius 2000 tahun lalu tentu menakutkan, yaitu Romawi bisa kuat dan bertahan lama karena berhasil ‘mengelola’ ketiga rejim, monarki, aristokrasi, demokrasi dengan baik. Dalam waktu yang bersamaan -bukan lagi soal 'siklus rejim'. Jadi bagi sang-dalang, masalah pokoknya adalah: kendali. Atau dalam term Perang Modern-nya Ryamizard Ryacudu, tahap akhir: penguasaan. Maka pilihannya adalah ‘dark empire’ itu. Maka pula si-mono-pun dipersilahkan untuk ber-nepotisme secara vulgar. Biar busuk-lah, dan jadilah: tirani! Para aristokrat, atau bisa kita hayati salah satunya sebagai para teknokrat, digusur perlahan-lahan. Pos-pos penting banyak yang kemudian diisi yang bukan ahli di bidangnya. Sama-sekali. Lembaga penelitian yang bisa sebagai patok-duga para teknokrat itupun juga dikerdilkan secara vulgar. Juga perguruan-perguruan tingginya. Di ranah demokrasi, nuansa mob-rule lebih dibangun melalui jaringan digital. Entah melalui buzzerRp, pollsterRp, laku asal njeplak, asal lempar, dan banyak lagi. Dan masing-masing ‘rejim-busuk’ itu tidak hanya mempunyai ‘logika’-nya sendiri, mempunyai ‘tata-bahasa’-nya sendiri, tetapi sebenarnya juga ada ‘kompetisi’ di antaranya. Masing-masing punya daya tawar-nya sendiri-sendiri. Maka dark empire itu pada dasarnya adalah suatu, katakanlah: faustian bargain. *** (01-09-2022)
[1] https://www.pergerakankebang
saan.com/981-Dark-Empire-1/