12-08-2022
Beberapa waktu lalu, kemungkinan besar peradilan Jerman menjatuhkan hukuman pada pelaku holocaust untuk yang terakhir kalinya. Yang diadili itu memang sudah sangat uzur, tetapi masih sehat dalam beringat. Banyak segi berbeda untuk menghayati peristiwa itu, salah satunya adalah peringatan bahwa pengingkaran akan datangnya kematian itu bisa-bisa sungguh dahsyat akibat buruknya. Pengingkaran akan ‘kematian rejim’. Segala apa yang dilakukan oleh Hitler itu seakan berangkat dari asumsi bahwa rejim yang dipimpinnya akan langgeng untuk selamanya. Bahkan ‘kematian rejim’ sebagai kemungkinan-pun sudah tenggelam dalam derap baris tentara Nazi dengan hormat khas-nya itu. Dan tentu dengan segala puja-puji tiada habis-habisnya terhadap Hitler, sang-‘axis mundi’. Ketidak-pastian di sekitar masa-masa itu telah menimbulkan ketakutan sendiri di banyak khalayak, dan sayangnya, Hitler-lah yang kemudian menjadi sang-‘axis mundi’-nya. Dengan bantuan segala kemajuan teknologi komunikasi pada waktu itu. Atau kita bayangkan ketika ‘kematian secara hukum’ itu kemudian diingkari. Narasi ini-itu, penghilangan-perekayasaan barang bukti, sampai pada adanya ‘mafia peradilan’ bisa-bisa akan memberikan dampak yang dahsyat bagi hidup bersama. Bisa-bisa peristiwa kejahatan akan terjadi berulang dan berulang dalam nuansa sudah tidak ada takutnya lagi. Tidak jauh berbeda juga dalam hal korupsi.
Dari ketidak-terbatasannya kemungkinan, manusia justru bisa berkembang karena adanya ‘batas’. Masalahnya adalah bagaimana batas itu kemudian dihayati. Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, soal mitis, ontologis, fungsionil itu adalah soal ‘penghayatan’ akan batas juga. Batas yang ‘dimajukan’ dengan penghayatan berbeda antara mitis, ontologis, dan fungsionil. Atau dalam buku lainnya, Van Peursen menandaskan bahwa horison itu adalah juga room for progress. Horison adalah soal batas, meski pada saat yang bersamaan ini menyampaikan juga ketidak-terbatasan. Atau misalnya kita sedang menyusun skripsi, bukankah mesti ada ‘pembatasan masalah’-nya? Soal batas ini akan kita temui dalam banyak hal keseharian kita, bahkan tanpa kita sadari lagi. Sampai pada satu titik kadang kita mesti ‘berhenti’ sejenak untuk melihat lebih soal batas ini, misal soal batas ambang pencalonan presiden, PT 20% itu. Atau yang sudah mau melangkah masuk dalam dunia ‘tak tahu batas’, perpanjangan masa jabatan atau minta periode jabatan ditambah. Yang sebenarnya keduanya bisa dihayati sebagai upaya pengingkaran ‘kematian rejim’ dalam ranah demokrasi. Maka salah satu sisi yang mesti dilihat lebih teliti, sebenarnya ‘horison’ siapa yang sedang digunakan? Dan konsekuensinya, progress-nya siapa yang akan diupayakan? Pembubaran Satgassus Merah Putih yang dibubarkan ketika sang-‘katalis’ menemukan momentumnya itu layak menjadi pelajaran bersama. Jika ditilik dari soal ‘horison’-nya siapa dan untuk ‘progress’-nya siapa. Juga soal nuansa ‘gak ada matinya’ itu. *** (12-08-2022)