01-08-2022
Van Peursen memberikan contoh bagaimana sisi negatif tahap fungsionil: operasionalisme, dengan mengambil dari Wittgenstein. “Sejumlah orang mengadakan permainan sbb.: masing-masing mempunyai wadah korek api yang kosong, wadah tersebut diisi dengan seekor kumbang, lalu setiap peserta menceriterakan kepada tetangganya bagaimana rupa kumbang itu (kecil atau besar, bagaimana warnanya, dst.), tetapi tak seorang pun boleh menengok kumbang milik temannya. Nah, permainan ini dapat juga dilangsungkan bila wadah-wadah itu kosong, tak seorangpun dapat mengkontrol apakah cerita temannya benar. Bila kita mengamati permainan ini secara lahiriah belaka, hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan atau operasinya, maka tidak kelihatan suatu perbedaan apapun. Pada saat itu kumbang-kumbang tadi menjadi hasil dari operasionalisme: mereka hanya berada di dalam operasi-operasi (peraturan permainan, janji-janji, perbuatan).”[1]
Atau kita bayangkan, jika kotak kosong itu diisi mobil-mobilan misalnya. Maka mungkin kemudian akan ada yang bercerita betapa hebatnya mobil-mobilan dalam kotak itu. Buatan dalam negeri, dan sudah ada paling tidak 6.000 orang yang sudah pesan! Atau diisi dengan lintingan kertas bertulisan ‘nasib petani’. Maka mungkin kemudian akan ada yang bercerita betapa ia akan memuliakan petani. Akan ini-itu soal nasib petani. Dan banyaaak lagi contoh bagaimana sebenarnya kotak itu tetaplah kosong, tetapi tetap saja ngibul soal ini dan itu, seakan sudah tidak bertepi lagi, ngibul-nya.
Menurut Van Peursen, “sikap fungsionil lebih menunjukkan suatu tanggung jawab daripada suatu tahap yang telah tercapai.”[2] Dalam alam pikiran ontologis kita jumpai distansi, jarak, usaha mencari pengertian. Dalam alam pikiran fungsionil nampak bagaimana manusia dan dunia saling menunjukkan relasi, kebertautan antara yang satu dengan yang lain.[3] Jika dua kutipan di atas dibaca dalam konteks relasi yang muncul dalam pertemuan face-to-face, maka semakin jelas yang dimaksud oleh Levinas. Yaitu seakan wajah dari ‘yang lain’ di hadapan kita itu tidaklah cuma sekedar hadir, apalagi ada untuk dimanipulasi, tetapi seakan wajah ‘yang lain’ itu hadir dengan cara ‘khas’-nya dan sekaligus menuntut tanggung jawab dari kita juga. Ada relasi etis di situ.
Maka lempar-lempar tanggung jawab sebenarnya bukan masalah kecil lagi. Penggalan kata ‘ya ndak tau to kok tanya saya’ itu sejatinya sudah menjadi bukan lucu-lucu-an lagi. Di balik kesukaan lempar tanggung jawab, termasuk keranjingan menyalahkan bawahan misalnya, atau masa lalu, atau lainnya, atau sok-sok-an marah, jengkel, geram, ada hal besar sedang dipertaruhkan, yaitu semakin tipis kehadiran ‘relasi-relasi etis’ dalam hidup bersama. Apa konsekuensinya, terlebih pada yang sedang di atas panggung, jika masalah etika tiba-tiba saja meredup? Apakah untuk ‘memperkuat daya tahan’ hidup bersama maka khalayak akan mencari ‘sumber-sumber etika’ lain? Ketika ‘teater negara’ itu berlangsung dengan tipisnya etika? Ketika pertimbangan-pertimbangan etis dari aktor-aktor-nya itu semakin melenyap?
Jika kebudayaan sebagai siasat manusia menghadapi hari depan[4], maka hari depan macam apa ketika para aktor ‘utama’-nya di ranah negara itu sudah tidak lagi memiliki pertimbangan-pertimbangan etis yang memadai? *** (01-08-2022)
[1] Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius, 1988, hlm. 110
[2] Ibid, hlm. 117
[3] Ibid hlm. 87
[4] Soedjatmoko, Prakata, dalam Van Peursen, ... hlm. 5