11-07-2022
Mestinya istilah ‘efisiensi berkeadilan’ akan mengundang diskusi menarik. Bagaimana efisiensi itu bisa berdampingan dengan keadilan? Terlebih itu tercantum dalam undang-undang dasar. Artinya menuntut untuk nampak dalam praktek bernegara. Tidak hanya itu, menarik juga dalam prosesnya sampai 'menemukan' atau disepakatinya istilah tersebut. Bagaimana kubu para ahli ‘sayap efisiensi’ beradu argumentasi dengan para ahli ‘sayap keadilan’ -dalam proses amandemen pertama. Pendekatan ‘teoritis-ekonomi’-nya bisa sangat ketat. Dan biarlah yang ahli di bidangnya bisa berdebat lebih lanjut. Tetapi terhadap apa-apa yang sudah terjadi di lebih dua-puluh tahun usia amandemen, salah satunya soal ‘efisiensi berkeadilan’ –ada di pasal tentang ekonomi, kita bisa juga meraba dari bermacam penampakan selama 20 tahun itu. Bisa salah, tetapi juga bisa mendekati yang benar. Yaitu dengan menempatkan soal kepercayaan, soal trust sebagai katakanlah, ‘pihak ketiga’.
Dari segi apapun, soal kepercayaan ini akan jauh lebih efisien dibanding dengan menipisnya kepercayaan. Kepercayaan sebagai dasar berkembangnya ‘modal sosial’ itu akan memotong bermacam biaya, misal biaya ‘pengamanan’. Atau lainnya. Kita tidak perlu bersusah-payah memaksakan diri untuk mencapai ‘keseimbangan 50-50’ antara efisiensi dan berkeadilan –baik dalam teori maupun dalam praktek, tetapi ada kepercayaan ketika soal efisiensi ditekankan, maka jalan itulah yang sungguh akan ditempuh. Dan ketika dirasa sudah sampai pada titik mengusik rasa-keadilan, maka jalan berkeadilan-pun harus mempunyai kesempatan untuk menggantikannya. Sederhananya, antara ‘pertumbuhan’ dan ‘pemerataan’ itu ditentukan oleh proses-proses politik. Proses-proses politik yang didasari oleh bangunan rasa percaya yang kuat. Oleh modal sosial yang terus bertumbuh karena kepercayaan mengambil tempat sentralnya. Orang tidak bisa lagi berkampanye akan memuliakan petani misalnya, tetapi ketika ia berkuasa justru malah membuat hidup petani sengsara. Pada dasarnya memang tidak akan pernah ada yang sungguh 100% efisiensi dengan 100% meninggalkan berkeadilan, demikian sebaliknya. Soalnya adalah, prioritas.
Tetapi baik kubu efisiensi maupun kubu keadilan sebenarnya punya landasan pijak tak jauh berbeda untuk bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi hidup bersama, sebelum sampai pada satu titik ‘saling koreksi’, yaitu sikap prudence. Tak mengherankan pula jika ada yang menyebut bahwa sikap prudence ini merupakan ‘ibu dari segala keutamaan’. Ketika rute prudence ditinggalkan dan cenderung ugal-ugalan, serta semakin membesarnya defisit kepercayaan, maka semakin dekatlah pada sebuah krisis. ‘Manfaat sebesar-besarnya bagi hidup bersama’ akan semakin menjauh, dan semakin nampak dengan terang-benderang-telanjangnya hanya segelintir saja penikmatnya. Ketidak-adilan yang sudah sungguh ugal-ugalan. Kemungkinan besar inilah yang memicu bermacam krisis hidup bersama. Bahkan juga membesarnya potensi spiral kekerasan. Tinggal tunggu momentum saja. Atau datangnya si-katalis.
Tentu dalam praktek akan tidak sesederhana seperti di atas. Terlalu banyak hal lain akan terlibat dalam praktek. Tulisan pendek ini hanyalah untuk mengajukan sebuah istilah yang sebenarnya sungguh problematik, soal: efisiensi berkeadilan, yang ada dalam undang-undang dasar. *** (11-07-2022)