www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-07-2022

Kicking Away the Ladder (2002) karya Ha Joon Chang itu bisa menjadi titik berangkat untuk melihat diri semakin jernih. Intinya Kicking Away bercerita soal ‘tendang tangga’, yaitu ketika negara-negara maju seperti sekarang ini meniti ‘tangga’ tertentu untuk kemajuannya, tetapi ketika ia sudah ‘di atas’, tangga itu ditendang sehingga negara-negara berkembang sulit untuk ‘ikut-ikutan’ naik ke atas lewat tangga itu. Misal dengan logika ‘infant industry’ maka Amerika di abad 19 melakukan proteksi dengan pemberlakuan tarif tertentu bagi produk-produk tertentu dari luar Amerika. Setelah mencapai sukses maka berkotbahlah soal pasar bebas, anti-proteksi. Contoh secara garis besarnya, Washington Consensus.

Boris Johnson kemarin mengundurkan diri sebagai PM Inggris. Paling tidak selama menjabat ia terlibat kurang lebih 5 kali yang bisa dimasukkan dalam kategori skandal. Kumpul kebo dengan partner yang akhirnya dinikahi beberapa waktu itu, di sono bukanlah skandal apalagi harus di penjara. Itu urusan dia-dia sendiri saja, urusan privat. Tetapi di Amerika hal seperti ini jika menyangkut pejabat publik, bisa-bisa diulas nggak habis-habisnya. Macam-macamlah. Yang terakhir adalah saat lockdown akibat pandemi itu ia malah menggelar pesta di kantor, tanpa protokol kesehatan sama sekali. Pesta internal memang, tetapi rupanya ini juga skandal –skandal besar, karena suruh rakyat prihatin ia sendiri malah gelar pesta. Itulah puncak dari terkikisnya sebuah leadership, di Inggris sono.

Kicking Away memang banyak bercerita soal ekonomi, tetapi jangan-jangan soal ‘tendang tangga’ ini juga ada di ranah politik. Tidak selalu politik itu menaruh soal kehormatan di tempat terang benderang –Machiavelli misalnya memaparkan secara terang-benderang pula, tetapi dari pengalaman negara-negara maju seperti sekarang ini, nampaknya kehormatan telah menjadi salah satu batu pondasi penting. Bagaimana kehormatan itu masuk dalam ‘ujian akhir’ memang beda-beda. Di satu komunitas mungkin soal kumpul kebo dan sejenisnya –asal tidak pakai kekerasan segala, itu urusan sendiri-sendiri, tetapi soal korupsi-kolusi-nepotisme misalnya, bisa menjadi begitu pekanya. Di Jepang misalnya, kepleset atau tidak kepleset, ujaran yang melukai rakyat bisa berujung mundur sebelum dituntut mundur. Naif? Tidaklah, baik si-pejabat dan ‘lingkaran’-nya maupun rakyatnya tahu persis apa yang sedang dipertaruhkan. Di banyak negara yang sekarang bisa dikatakan maju itu, kehormatan dalam politik rata-rata ‘ujian akhir’-nya bukanlah soal dihina atau tidak, dibuat meme yang nakal –seperti Merkel memakai bikini, atau tidak. Bukan yang ndèk-ndèk-an seperti itu. Tetapi lebih seperti beberapa contoh di atas. Memang banyak jalan berliku dan tidak mudah untuk menempatkan kehormatan misalnya, ada di tengah-tengah ranah politik bersama hal mendasar lainnya. Tetapi bagaimana setelah itu, setelah ‘sukses’ menempatkan kehormatan sebagai bagian tak terpisahkan dalam dinamika perpolitikan, kemudian mereka, melalui bermacam rutenya, melalui beragam para ‘misionaris’-nya kemudian berkotbah bahwa politik memang di dalamnya tidak ada kehormatan? Tidak ada etika? Dan kategori itu adalah real-politik. Sedang yang ada kehormatannya: ideal-politik. Hanya ada dalam angan. Tidak mudah mengurai seperti ini sebab tiba-tiba saja bisa-bisa kemudian masuk dalam kategori ‘teori konspirasi’. Repot. *** (08-07-2022)

Tendang Tangga Itu