13-06-2022
Dari beberapa informasi yang beredar, tidak mudah untuk menjadikan republik bebas penyakit PMK pada sapi, atau binatang sejenis. Perlu puluhan tahun sehingga republik bebas PMK. Dan perlu upaya keras pula untuk menjaga tetap bebas PMK 30 tahun kemudian. Bagaimana kemudian batas-batas itu dijaga sehingga penyakit yang sungguh merugikan itu bisa dijaga untuk tidak masuk republik, jelas pula memerlukan upaya serius, tidak main-main. Dari bermacam informasi juga kita bisa meraba, merebaknya penyakit PMK ini -setelah 30 tahun terjaga dengan baik, karena praktek politik yang sudah ‘tidak-tahu-batas’ lagi. Praktek pemburuan rente yang lekat dengan kuasa politik itu sudah begitu ugal-ugalannya, sudah, sekali lagi: tidak tahu batas. Kasus PMK ini jelas kasus serius, tetapi bagaimanapun juga itu adalah puncak gunung es saja, puncak dari bermacam praktek ‘tak tahu batas’. Seperti kasus seorang menteri yang menggunakan bermacam fasilitas di rentang-kelolanya itu secara semau-maunya. Seoalah-olah bermacam hal di bawahnya itu adalah ‘milik neneknya’ sendiri. Sebuah praktek-vulgar dari ‘tak tahu batas’ itu. Pelajaran dari sejarah memberitahukan pada kita bahwa ke-tidak-tahu-an-akan-batas itu hanya akan membawa hidup bersama dalam kegelapan saja. Menteri itu tidak sadar sedang menggali ‘kubur’-nya sendiri. Atau paling tidak ia akan dikubur dalam-dalam oleh gerak sejarah. Mengapa orang-orang jenis seperti ini, dalam dinamika politik, ranah negara, sepantasnya cepat-cepat ditendang masuk got saja?
Ke-tidak-tahu-an-akan-batas itu pada titik tertentu, kongkret, ia akan kesulitan pula ketika harus memahami-menghayati ‘batas-batas kedaulatan negara’, baik itu ketika berhadapan dengan warga-negaranya, maupun ketika bertemu dengan bermacam kepentingan global. Terhadap warga-negaranya sendiri ia bisa berubah menjadi sosok otoriter, tetapi pada saat sama ketika berhadapan dengan komunitas global, logika kacung-lah yang bisa-bisa akan maju paling depan. Kalau perlu kedaulatan negara-pun akan digadaikan juga. Kalau perlu ‘menyediakan diri’ sebagai ‘bahan olok-olok’ ketika bertemu pemimpin dunia lain demi strategi ‘glembukan’ yang level ndèk-ndèk-an itu. Siapa bilang ‘taktik glembukan’ itu tidak punya ‘kelas-kelas’-nya sendiri?
‘Tahu batas’ itu bukan berarti sedang menebar keraguan. Tetapi kalau toh soal ragu-ragu ini mau dipakai, bukankah ilmu pengetahuan itu juga mulai dari ‘keragu-raguan’? Maka ‘tahu batas’ berarti pula siap menggunakan anugerah paling berharga: berpikir. Dan karena soal ‘batas’ ini akan terkait dengan ‘kemajuan’ (progress) maka berpikir di sinipun konteksnya adalah: praksis. Jelas pula ini bukanlah ‘jalan gampang’. Atau kalau dibalik, ‘tidak-tahu-batas’ itu sebenarnya ada bersembunyi sebuah greget yang menjengkelkan: jalan gampang. Lihat misalnya, diubah saja aturannya supaya tidak bisa dikatakan melanggar aturan. Apa yang sedang dipertaruhkan di sini?
Dalam ‘hukum pertukaran budaya’, pendapat Toynbee perlu diperhatikan di sini. Semakain tinggi ‘nilai’ sebuah budaya maka akan semakin tinggi pula resistensinya, Tetapi semakin rendah ‘nilai’ sebuah budaya maka ia akan semakin mudah diserap. Maka ‘jalan gampang’ inipun akan semakin mudah merebak kemana-mana. Rusak-rusak-an. Masih mau bicara ‘revolusi mental’? Ndas-mu! *** (13-06-2022)