12-06-2022
“The great enemy of truth is very often not the lie –deliberate, contrived, and dishonest, but the myth – persistent, persuasive, and unrealistic. Belief in myths allows the comfort of opinion without the discomfort of thought,” demikian dikatakan John F. Kennedy sekitar 60 tahun lalu. Terlalu banyak contoh ‘ensiklopedia’-nya rejim berkuasa isinya disesaki oleh mitos. Pendapat Alasdair MacIntyre dalam After Virtue: “man is essentially a story-telling animal” itu nampaknya betul-betul dimaksimalkan. Meski sebenarnya ‘cerita-cerita’ yang semakin menguak kebenaranlah yang lebih dimaksudkan. Dan aku ada dimana dalam keseluruhan cerita itu? Tetapi mana yang benar dan mana yang tipu-tipu? Apalagi menurut Hermann Broch, manusia tidak lepas dari kondisi ‘twilight-state’ itu. Kesadaran temaram yang bisa-bisa selangkah lagi menjadi ‘manusia massa’.
Keranjingan memasukkan bermacam mitos ke dalam ‘ensiklopedia’-nya pada dasarnya pada saat yang sama juga menjauhkan upaya khalayak untuk melatih diri meniti rute ‘discomfort of thought’, seperti disinggung Kennedy di awal tulisan. ‘Insting’ membangun mitos demi langgengnya kuasa ini seakan memang sudah ‘bawaan’-nya. Salah satu ‘deteksi dini’ apakah ‘insting’ itu kemudian berubah menjadi hasrat tak tertahankan atau ‘terkendali’ adalah soal pendidikan. Apa yang diperbuat rejim terhadap dunia pendidikan? Dan pertama-tama itu bukanlah soal pendidikan tinggi, universitas, atau bahkan SMK, politeknik, tetapi adalah pendidikan dasar, katakanlah sampai tingkat SMP itu. Sembilan tahun pertama yang bahkan itu sudah merupakan ‘wajib belajar’. Yang inti dari 9 tahun pertama pendidikan itu –terlebih di negara-negara berkembang, adalah untuk menjawab kegundahan Spivak : “Can the Subaltern speak?” Jangan sampai ketika setelah besar nanti anak-anak kita sekedar menjadi ‘gorila terlatih’ seperti dalam Taylorisme yang menjadi salah satu titik berangkat kritik Gramsci.[1] *** (12-06-2022)
[1] Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, International Publisher, 1971, hlm. 8