09-06-2022
Saya mendapat kesempatan sungguh berharga melihat, dan sebagian merasakan juga bagaimana melalui 5-6 tahun sekolah kedokteran. Setelah itu berkerja beberapa tahun sebagai dokter umum, dan kemudian mengambil spesialis, 4-5 tahun lamanya. Setelah selesai kemudian praktek spesialis beberapa tahun. Setelah itu menempuh pendidikan sub-spesialis selama kurang lebih 2 tahun. Kemudian setelah praktek sub-spesialis beberapa tahun kemudian mengambil program doktor, selesai sekitar 4 tahun. Tentu sampai di sini bukan cerita soal saya, karena setelah lulus dokter bertahun kemudian mencoba belajar filsafat di program pasca-sarjana STF D., meski tidak selesai juga. Tetapi coba berandai-andai, setelah lulus dokter beberapa tahun kemudian saya mengambil program pasca-sarjana Kesehatan Masyarakat, misalnya. Dan seterusnya sampai tingkat doktoral-nya, dan tidak hanya itu, saya juga aktif –katakanlah sebagai PNS, ke posyandu-posyandu, ke puskesmas-puskesmas, ikut terlibat dalam pengembangan kesehatan masyarakatnya. Saya juga sangat paham seluk-beluk ke-rumah-sakit-an karena terkait juga dengan jabatan-tugas-dan kewenangan saya. Kemampuan saya-pun sudah diakui, baik di tingkat nasional maupun internasional. Maka tak heran pula jika ada bisik-bisik, nih ... calon Menteri Kesehatan. Tetapi ternyata yang jadi Menteri Kesehatan justru orang yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan kesehatan! Alasan dari si-pemegang hak prerogratif itu adalah bla ... bla ... bla. Apa mau dikata, itu memang hak mutlak dari presiden terpilih. Atau katakanlah kemudian ada semacam wikipedia itu, sebut saja wikimedika, di bidang kedokteran atau kesehatan pada umumnya. Sama, semua saja bisa menambah, mengedit, isinya. Akankah kekhawatiran Carr akan menjadi kenyataan? ‘Hegemoni kaum amatir yang menakutkan itu,” katanya.[1]
Maka kata kuncinya adalah, meminjam istilah Gramsci, intelektual organik. Hanya saja mari berandai-andai, bagaimana jika hadirnya ‘intelek organik’ ini tidak semata hadir dalam ‘perjuangan kelas’, tetapi ia hadir di bermacam ‘ranah’, atau fields. Salah satu dimensi dari ‘imperfect duty’ menurut Kant adalah ‘self improvement’. Katakanlah tidak ada otoritas yang mengejar-ngejar, tetapi itu sudah ‘menyatu dalam tekad’ diri, untuk selalu meningkatkan ‘kualitas diri’. Bukannya tidak mungkin ada komunitas dengan bagian kulturnya mempunyai ‘karakteristik’ seperti ini. Kant ‘menteorisasikan’ soal ini mestinya tidak di ruang kosong. Atau juga kita mengenal beberapa nama di satu komunitas yang terkait dengan suatu pekerjaan tertentu. Dan mereka bangga dengan nama itu karena berhasil secara ‘turun-menurun’ kualitas pekerjaan selalu ditingkatkan. Dan ini akan lebih dimungkinkan dengan adanya ‘ranah’ itu.
‘Ranah’ pada dasarnya adalah soal ‘batas’. Dan itu juga bisa dihayati sebagai sebuah ‘horison’. Horison bagaimanapun juga akan terkait dengan ‘batas’ meski ia akan ada dalam ‘ketidak-terbatasan’. Menurut van Peursen, horison ini adalah ‘room for progress’. Justru karena horison berurusan dengan ‘batas’ maka ‘kemajuan’ menjadi dimungkinkan. Atau bisa dikatakan, ‘kemajuan’ itu kemudian adalah juga soal ‘memajukan batas-batas horison’. Di balik horison ada ‘ketidak-terbatasan’ kemungkinan, beribu-ribu posibilitas. Seorang ‘intelektual organik’ akan melihat ‘ketidak-terbatasan kemungkinan’ itu bukanlah sebagai yang menakutkan. Makanya ia akan menggelutinya dengan sungguh-sungguh, ber-self improvement untuk ‘menguak’ batas, memajukan batas bahkan jika itu berarti masuk ke rimba posibilitas itu. Sehingga pada satu titik, tiba-tiba saja ia bisa-bisa sudah sampai pada suatu ‘patahan paradigma’ seperti dikatakan oleh Thomas Kuhn. *** (09-06-2022)
[1] https://www.pergerakankebang
saan.com/927-Rejim-dan-Ensiklopedia-nya-1/