07-06-2022
‘Resep’ roti dan sirkus adalah salah satu upaya mengelola ‘yang banyak’ sehingga ‘yang banyak’ itu bisa nyaman-nyaman saja dan dapat menerima kekuasaan di tangan ‘yang sedikit’. Sejak jaman Romawi kuno. Juvenal, penyair di penghujung abad 1 itu juga menyinggung dalam puisinya. Bukannya tanpa kritik saat itu soal merebaknya ‘resep’ sirkus dan roti ini, salah satunya ketika itu dirasa terlalu banyak maka banyak pula yang merasakan ‘heroisme’ kemudian menipis di banyak kalangan. Tetapi, bagaimana jika ‘roti’-nya ternyata tidak kunjung tiba? Digangsir di banyak tempat sehingga ‘yang banyak’ itupun akhirnya hanya menerima remah-remahnya, atau paling besar potongan kecil saja? Mungkinkah si-‘sirkus’ kemudian mengambil beban yang mestinya ‘dibagi dua’ itu? Bisa jadi. Dan jadilah situasi: terlalu banyak ‘sirkus’ itu.
Bagi Marx, ‘sirkus-sirkus’ itu sebaiknya ‘ditunda’ dulu, dan kemudian ia menyarankan supaya lebih memperhatikan bagaimana ‘roti’-nya dibagi. Bukan soal ‘roti’-nya dibagi dengan cara dilempar dari jendela kaca mobil yang berjalan pelan itu –meski ini juga sungguh menjengkelkan, tetapi adalah soal relasi-relasi kekuatan produksi ‘roti’-nya. Yang ada di ‘basis’ itu. Tidak semua di ‘bangunan atas’ itu adalah sebuah ‘sirkus’, atau ‘tontonan-untuk-menyihir’. Itu sudah jelas. Tetapi yang sudah jelas itupun sering masih memerlukan upaya lebih: berpikir, untuk membedakan mana yang sekedar ‘sirkus’ atau bukan. Agama, demikian juga politik, ideologi, atau juga denyut budaya, pastilah bukan bagian dari ‘sirkus’. Semestinya. Dan juga tidak semata ditentukan oleh dinamika yang terjadi di ‘basis’. Bisa itu, dan sebaiknya kemungkinan itu terus dipelihara. Meski tidak mudah, kemungkinan itu akan tetap ‘terpelihara’ dengan tidak mengingkari potensi dahsyatnya pengaruh yang muncul dari dinamika di ‘basis’ itu. Artinya, tetaplah dinamika di ‘basis’ itu menjadi perhatian utama.
‘Terlalu banyak sirkus’ yang menjadi judul bisa terjadi karena seperti sudah disinggung di awal tulisan, karena nyatanya ‘yang banyak’ itu hanya mendapat remah-remah, irisan-irisan kecil saja dari ‘roti’-nya. Bahkan salah satu ‘masternya-sirkus’ kalau perlu diterjunkan masuk ‘gelanggang’, seperti digambarkan oleh cuitan Sudjiwotedjo di bulan akhir tahun lalu: “Kiamat sudah dekat bila manusia nyekop tanah uruk dengan sendok sirup, dan minum sirup obat batuk dengan sekop.” Kegilaan main ‘sirkus’-nya saat itu hanya bisa dijejerkan dengan ‘kiamat’. Atau saat ada menteri sudah sampai level mania dalam menggunakan fasilitas yang ada dalam jajarannya, seriuskah ia sedang mencalonkan diri? Jadi calon presiden, misalnya. Mungkin ia serius, tetapi jelas juga itu adalah ‘sirkus-sirkus’-an saja. Demikian juga ‘partai sirkus i’ itu, terlalu banyak main ‘sirkus’-nya. Bahkan soal tarif tempat wisata yang tiba-tiba saja melangit itu. Dan banyaaak lagi contoh. ‘Sirkusisasi’ dalam dunia politik nampaknya sudah sampai pada tahap mania, sebangun dengan kegilaan mengeruk kekayaan sumber alam. Termasuk juga soal korupsinya. Dan seperti ditengarai oleh pengkritik rute ‘sirkus dan roti’ dua ribu tahun lalu itu, ‘heroisme’ memang sedang melenyap di republik. Mungkin benar salah satu isi surat Edward Rutledge ke John Jay, 24 November 1776 :”A pure democracy may possibly do, when patriotism is the rulling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must supress a liitle of that popular spirit.” ‘Sirkus dan roti’ dalam banyak halnya memang untuk mencegah terjadinya revolusi. Revolusi yang secara potensial akan membesar ketika banyak para rascals yang jauh dari sikap patriotisme, justru dominan dalam ‘mengatur’ hidup bersama. *** (07-06-2022)