03-06-2022
Lebih dari 2000 tahun lalu, Thrasymachus melempar salah satu pendapatnya mengenai keadilan. Katanya, keadilan adalah soal siapa yang lebih kuat. Yang lebih kuat akan membuat hukum-hukum penopang kepentingannya. Dan itu kemudian dikatakan sebagai: adil. Kita boleh-boleh saja menolak ide tersebut, dan mestilah memang dilawan. Tetapi dalam praktek, hal-hal seperti itu bisa saja terjadi. Putin di kampanye tahun 2000 menamainya sebagai ‘dictatorship of law’. Yang dalam praktek di sana-sini kemudian tidak jauh dari konsekuensi pendapat Thrasymachus di atas. Maka peraturan-perundanganpun diubah untuk perpanjangan jabatannya, salah satu contoh.
Hari-hari ini di Inggris sana sedang berlangsung perayaan terkait 70 tahun Ratu Elizabeth II naik tahta. Dari pemberitaan nampaknya sang-Ratu masih dicintai oleh kebanyakan warga. Mengapa di jaman demos-kratos nuansa monarki itu masih bisa hidup berdampingan? Apakah karena monarkinya sudah monarki yang dibatasi oleh perundangan? Ataukah juga Elizabeth II itu terlibat dalam bangunan ‘sacred canopy’ (Peter L. Berger) dan berhasil menjalankan perannya dengan baik? Di era ‘negara-bangsa modern’ ini? ‘Negara-bangsa modern’ yang menurut Carl Schmitt, konsepnya merupakan sekularisasi dari konsep teologi itu? Lalu bagaimana di komunitas yang tidak ada raja-ratu-kaisar-nya? Apakah masih perlu adanya ‘sacred canopy’ dalam menegara?
Di negara hukum, ‘sacred canopy’ dalam prakteknya adalah –kalau di republik, yang menyandang predikat ‘mahkamah’ itu, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Ketika hidup bersama muncul bermacam ketidak-pastian, MA dan MK bisa menjadi tempat untuk mendapatkan ‘kepastian’. Bukan hanya ‘kepastian hukum’ sebenarnya, tetapi juga ‘ancaman’ untuk tidak berbuat ugal-ugalan yang bisa berujung memperbesar potensi ketidak-pastian. Karena apa? Karena jika itu dilakukan, ia akan berhadapan dengan MA dan MK. Maka siapa-siapa yang duduk di MA dan MK itu mestinya sungguh-sungguh orang-orang pilihan. Bahkan, ‘setengah dewa’. Tidak berlebihan mengingat beban sebagai ‘sacred canopy’ dalam menegara. Cacat sedikitpun sebaiknya jangan dipakai. Melakukan tindakan tercela sedikitpun saat menjabat sebaiknya juga mundur atau dimundurkan. Terlalu besar yang dipertaruhkan. Kegagalan memposisikan sebagai ‘sacred canopy’ bisa-bisa nuansa chaotic akan memperbesar potensinya. Jika itu menjadi fakta faktual, bisanya kekuatan kekerasanlah yang akan maju. Yang pegang senjata. Cerita selanjutnya, seperti dikatakan oleh Uskup Dom Helder Camara: spiral kekerasan bisa terpicu.
Maka sebaiknya, Ketua MK itu mengundurkan diri. Juga yang pernah melakukan ‘cacat etis’ itu. Sekali lagi, terlalu besar yang dipertaruhkan. Kewarasan negara bisa sungguh terganggu. *** (03-06-2022)