30-05-2022
Sekitar tahun 1660-an, vandal berarti “willful destroyer of what is beautiful or venerable.” Kata vandal berasal dari Vandals, salah satu suku Germanic yang menguasai Roma di tahun 455.[1] Apakah memang betul ada perusakan-perusakan atau karena pemimpin dan anaknya mengambil posisi melawan Gereja Katolik saat itu sehingga kata vandal berarti seperti di atas biar ahli sejarah yang berdebat. Tetapi makna hari ini tidaklah jauh-jauh amat dari makna yang berkembang sejak tahun 1660-an itu. Vandalokrat kemudian menjadi berarti pula sebuah komunitas dipimpin oleh rejim yang kecenderungan kuatnya adalah: merusak. Merusak apa-apa yang beautiful atau venerable, terlebih di ranah kepublikan. Maka jangan kaget jika ada plesetan: Miskin Kehormatan (MK).
Bukan ‘teori konflik’ yang menjadi titik berangkatnya, tetapi para vandalokrat itu sudah ‘keranjingan konflik’. Kedua kaki sudah menapak dalam lingkaran kegilaan, mania. Kemampuan pemahaman dan penilaiannyapun sudah seakan jungkir-balik. Dari mana datangnya kegilaan di ranah publik ini? Apakah karena menghilangnya ‘wajah’ kuasa? ‘Wajah manusia’ kongkret yang sedang pegang kuasa? ‘Wajah’ yang saat bertemu dengan ‘wajah-wajah’ lainnya itu sebenarnya ada ‘relasi etis’ yang perlu terus dikembangkan? Bisa jadi, istilah ‘boneka’ sedikit banyak menunjuk hal ini. Tetapi ada hal yang perlu diperhatikan, yaitu ketika rejim terlalu banyak diisi oleh para ‘penikmat kerumunan’.
Kerumunan dari masa ke masa selalu saja menarik perhatian. Tetapi bukankah berhasilnya manusia menapak jalan evolusi dan sejarahnya juga tak lepas dari ia kemudian berkerumun? Seperti dinampakkan oleh banyak spesies lainnya. Dalam kompetisi sepakbola, bermain di kandang seperti layaknya bermain dengan 12 pemain, kerumunan para pendukung yang lebih banyak itu seakan mendorong adrenalin lebih. Atau warung yang berdesak-desakan itu, ia bisa-bisa akan semakin berdesak-desakan. Atau di dunia digital media sosial, bahkan follower-pun dijual demi nuansa dahsyatnya kerumunan. Dunia pasar keuangan-pun tak lepas dari ‘insting kerumunan’ ini, se-rasional apapun klaim yang diajukan.
Tetapi bagaimana jika kerumunan-kerumunan itu begitu dinikmati oleh yang mempunyai kuasa menunjuk siapa panglima angkatan bersenjatanya? Siapa kepala kepolisiannya? Menaikkan pajak, memutuskan untuk menarik utang, membuat perundangan dan peraturan. Bahkan menyatakan perang. Dan banyak lagi. Pada kesempatan ini bukan soal ‘psikologi kerumunan’ atau ‘kesadaran kerumunan’, atau proses-proses meniru dalam logika kerumunan itu, tetapi apa dampak bagi si-‘penikmat’-nya? Lihat misalnya, bahkan ketika ia mengolok-olok soal kebocoran anggaran-pun tetap mendapat sambutan ‘meriah’. “Bocooor ... bocooor ... becooor....,” begitu teriaknya di atas podium. Dan kerumunan massa itupun tanpa berpikir berteriak serupa. Sekeras-kerasnya dengan segala kepuasannya itu. Lupa bahwa soal kebocoran anggaran negara itu, langsung atau tidak akan berdampak buruk pada dirinya. Apa dampak bagi si-penikmat kerumunan itu? Ketika ia lebih banyak ‘diasuh’ oleh kerumunan-kerumunan? Akankah kemudian akan berkembang menjadi seorang Hitler dengan segala kegilaannya? Bahkan ketika rejim sudah berubah menjadi sebuah vandalokrat-pun ia tidak akan paham-paham juga. Selamat memperingati 1 Juni! *** (31-05-2022)
[1] https://www.etymonline.com
/word/vandal