26-04-2022
‘Di atas langit masih ada langit’, demikian kira-kira pesan moral dari hikayat “Tukang Glembuk Kena Glembuk”. Ada yang bilang, apa yang kita kerjakan sehari-hari itu, pada akhirnya juga akan membentuk kita. Keberulangan terus menerus itu akan mempunyai kekuatan besar untuk ikut bagian dalam perjalanan hidup kita. The power of habit, orang sono sering bilang. ‘Glembuk’ (Jw.) tidak hanya ada di ranah ‘tipu-tipu’, tetapi juga ada di ranah ‘taktis’ juga. Terhadap siapa yang sedang dihadapi, ‘glembuk-an’ bisa sangat efektif untuk mencapai tujuan. Tetapi ranah taktis, ketika ranah taktik dikembangkan, akan mempunyai beribu-ribu kemungkinan. ‘Glembuk-an’ hanyalah salah satu jalan saja. Menjadi ‘tukang glembuk’ jika terlalu sering taktik ‘glembuk’-an diulang-diulang-dan-diulang seakan menjadi senjata andalannya. Senjata utamanya. Ketika luasnya kuasa itu dijalani lebih hanya dengan satu ‘senjata andalan’ saja, maka itu seakan sedang menggali kubur. Bukan karena kemudian ‘dihapalin’, tetapi itu seakan meyakinkan dia untuk menapak ‘jalan gampang’ saja. Begaimana tidak, hanya modal satu ‘senjata andalan’ sudah bisa ada di puncak kuasa, dan itu diulang-diulang-diulang, dan berhasil! Lupa pada titik tertentu taktik tersebut akan sampai juga pada batasnya. Yaitu ketika diri teryakinkan oleh ‘jalan gampang’ itu. Gitu aja bisa, kok. ‘Sense of urgency’ sebagai ‘tukang glembuk’-pun kemudian akan menipis. Dan akhirnya, senjata makan tuan.
Machiavelli menulis bahwa menipu –dalam bermacam bentuknya, termasuk ‘mazhab’ glembukan itu, bisa menjadi senjata ampuh dalam merebut atau mempertahankan kuasa, tetapi itu tetaplah hanya satu hal saja yang ditulisnya. Dan apa yang dimaui Machiavelli sebenarnya adalah meyakinkan ‘pembaca’ bahwa kuasa manusia itu bisa di nalar, bisa dipahami, termasuk olah tipu-tipu itu. Kuasa bukanlah sihir yang menyilaukan. ‘Sihir’ seperti kuasa Abad Pertengahan di daratan Eropa sana.
Hari-hari ini sedang ada pemilihan presiden di Perancis sana. Emmanuel Macron melawan Donald Trump-nya Perancis, Marine Le Pen. Nampaknya Macron akan kembali menjabat presiden dengan kemenangan hampir 60%. Meski jumlah pemilih yang nyoblos lebih banyak dibanding saat pemilihan putaran pertama, tetapi tetap saja masih di bawah 30%. Untuk meningkatkan jumlah partisipasi pemilihnya, salah satu saluran televisi Perancis menayangkan pentingnya posisi presiden itu. Bagaimana ia juga adalah commander-in-chief dari angkatan bersenjata, mempunyai kuasa untuk mengerahkan polisi, menyatakan perang, atau keadaan darurat negeri, dan lain-lainnya. Tak jauh dari kuasa yang melekat dari seorang presiden republik. Maka jabatan presiden adalah jabatan tidak main-main dan sangatlah penting, demikian kiranya yang ingin disampaikan presenter di TV Perancis sana itu.
Coba bayangkan jika presiden terpilih, dalam hal contoh di atas, Macron di Perancis sana itu, adalah presiden yang sebenarnya mudah di-glembuk, mudah ditipu juga. Dengan rentang kekuasaan seperti itu, bisa runyam. Bayangkan ia mempunyai kemampuan mengerahkan angkatan bersenjata. Atau jajaran kepolisian. Atau lainnya yang jelas akan berdampak besar bagi hidup bersama. Bisa- bisa Macron kerjaannya lebih banyak sok-sok-an saja, gegayaan sesuai dengan keinginan kanan-kiri lingkaran terdekatnya. Di-glembuk oleh kanan-kirinya. Di-‘bombong’ (Jw.) oleh kanan kirinya. Ditipu oleh kanan kirinya. Bisa runyam. Rusak-rusakan. Dirusak oleh polah-tingkah sosok boneka. *** (26-04-2022)