18-04-2022
Tulisan ini bukan soal rivalitas antar akun-akun di sosial media. Tetapi lebih berangkat dari pemikiran Rene Girad soal ‘teori segitiga hasrat’. Terlebih terkait dengan ‘rivalitas’ dan ‘kambing hitam’. Menurut Girard, seseorang (S) akan menghasrati sesuatu (O) karena ia meniru (mimesis) dari model (M) yang juga menghasrati O. Katakanlah, saya jadi pengin mencoba rokok Marlboro karena melihat gagahnya si Marlboro Man. Atau Likwan kok nampaknya menikmati sekali saat merokok Marlboro. Tetapi dalam hal ‘tiru-meniru’ ini –menurut Girard, pada titik tertentu akan berkembang situasi ‘rivalitas’ antara S dan M yang ditirunya. Dalam hidup bersama, rivalitas ini jika dibiarkan terus akan meretakkan bahkan menghancurkan hidup bersama. Maka Girard menengarai bahwa hadirnya ‘kambing hitam’ adalah untuk ‘meredam’ rivalitas yang berpotensi menghancurkan itu. ‘Kambing hitam’ yang katakanlah S dan M menyembelihnya bersama. Atau jauh sebelumnya, Platon beragumen bahwa ‘persahabatan sejati’ itu adalah ketika hadir sesuatu yang diperjuangkan bersama –ada ‘argumentasi pihak ketiga’ di sini.
Tetapi tidak semua ‘tiru-meniru’ ini berujung pada ‘rivalitas’. ‘Rivalitas’ akan lebih terjadi jika model adalah ‘model internal’. Model yang katakanlah, masih ada dalam ‘jangkauan’ S. Masih dapat dengan ‘cepat’ terhayati kehadirannya di ‘sekitar-sekitar’-nya. Apa yang disebut oleh Arnold J. Toynbee sebagai ‘minoritas kreatif’ itu nampaknya lebih condong ke ‘model eksternal’. Menurut Toynbee, juga modus menirulah yang akan dipakai oleh kebanyakan terhadap ‘minoritas kreatif’ ini. Minoritas kreatif yang menurut Toynbee, akan berperan penting dalam membangun respon terhadap tantangan. Atau lihat apa yang mau dicapai dalam ‘skenario’ bandwagon effect itu. Maka benar apa yang dikatakan oleh Paulo Freire di sekitar tahun 1960-1970-an itu, sikap fanatik akan merebak ketika pemikiran kritis tidak berkembang.
Maka, apakah kemudian sosial media bisa menjadi salah satu pilar demokrasi? Salah satu esensi dari demokrasi itu adalah dimungkinkan adanya perubahan kekuasaan. Adanya kemungkinan ‘matinya’ sebuah rejim. Untuk diganti yang baru. Tetapi menurut Noam Chomsky, selama kebanyakan di alihkan perhatian maka kemungkinan datangnya perubahan akan mengecil. Terlebih jika ‘antara satu dengan yang lain’ dicegah untuk mengetahui apa yang menjadi ‘sentimen’-nya masing-masing, apa yang sedang menjadi kepedulian mendalamnya. Dua ‘paket’ di atas bisa begiru efektifnya ketika yang dominan adalah modus komunikasi man-to-mass, seperti surat kabar, radio, televisi, film. Bagaimana ketika modus mass-to-mass sudah begitu merebaknya? Seperti era Revolusi Informasi seperti sekarang ini?
Imajinasi memang bisa berkembang begitu liarnya, makanya ia perlu selain cek-ricek dengan kenyataan yang ada, ia juga bisa di cek dengan imajinasi-imajinasi lainnya. Tidak mudah untuk sampai pada ‘mau’ di cek dengan imajinasi-imajinasi lainnya, kerena kadang memang bisa hadir pula perasaan ‘tidak nyaman’. Bahkan jika belum masuk ke ruang fanatisme sekalipun. Pada jaman Yunani Kuno, berkembang satu ‘teknik’ menulis, doxography. Suatu tehnik menulis dengan sebelumnya memaparkan apa-apa pemikiran terdahulu, baru setelah itu ia menulis apa yang ia pikirkan, termasuk setuju atau tidak setujunya terhadap pemikiran sebelumnya itu. Banyak dari penulis-penulis yang sudah tidak ditemukan ‘kitab’-nya, bisa diraba pemikirannya dari penulis-penulis sesudahnya, berkat tehnik doxography ini. Apa yang bisa kita pelajari dari sini adalah keterbukaan untuk di-cek oleh lainnya. Maka keterbukaan untuk mau di cek oleh yang lain memang membutuhkan ‘jalan panjang’. Sains pada dasarnya meletakkan dasar berkembangnya salah satunya adalah pada soal ini juga. Luhut Binsar Panjaitan ketika bicara soal Big Data, tetapi tidak mau terbuka untuk di cek oleh lainnya, pada dasarnya adalah anti-sains.
Tetapi soal ‘rivalitas’ dalam ber-sosial media dalam konteks ‘segitiga hasrat’-nya Girard seperti di atas, tidak mudah memang jika diinginkan sains kemudian menjadi ‘penengah’-nya. Ini lebih soal rasa-merasa, dan nampaknya, ‘rasanya’ akan lebih terpuaskan jika ada ‘kambing hitam’-nya. Bahkan jika perlu, komplit dengan ‘upacara’-nya. Apakah ini juga karena kita seperti yang dikatakan oleh Nietschze, manusia yang seakan tidak bisa lepas dari nafsu untuk berkuasa? Jika situasinya seperti ini, memang keterbelahan itu seakan justru akan membesar potensinya di era Revolusi Informasi ini. Lihat apa yang sudah dikerjakan dalam skandal Cambridge Analityca sebelum pilpres AS yang memenangkan Trump di tahun 2016 lalu. Dan bagaimana keterbelahan itu seakan ‘berkelanjutan’ sampai sekarang. Atau di republik beberapa tahun sebelumnya. Modus komunikasi mass-to-mass (dominan pada era internet, menurut Alvin Toffler) itu seakan kemudian ‘dibagi’ menjadi bermacam ‘klaster’ man-to-mass berdasarkan data-data profil penggunanya. Yang banyak mengatakan bahwa, data pribadi Facebook saat itu, puluhan juta digangsir oleh Cambridge Analityca. Kemudian berdasarkan data gangsiran itu dikelompokkan profil-profil yang mirip dalam satu klaster, dan dikirimlah pesan-pesan tertentu sesuai dengan ‘klaster-profil’ tersebut. Bukankah ini modus ‘man-to-mass’ yang sedang ‘menunggangi-menelikung’ modus ‘mass-to-mass’? Apalagi bawaannya Trump itu cenderung anti-sains. Keterbelahan, karena tidak hanya membesarnya insting ke-tribal-annya, tetapi juga sekaligus membesarnya an instinct to exclude itu, meminjam istilah Amy Chua (2019). Bahkan keterbelahan itu bisa ‘menyapa’ unit-unit terkecil dalam tata sosial hidup bersama: keluarga. Pasangan yang bisa-bisa sampai pada satu titik menjadi ‘rival’-nya, dan jika gagal menemukan ‘kambing hitamnya’ bersama, atau ‘pihak ketiga’, bisa-bisa akan diobok-obok oleh hadirnya ‘model eksternal’ melalui jaringan sosial media. Apalagi aliran informasinya sudah terolah semacam olahan Cambridge Analytica seperti di atas.
Maka, kembali ‘pesan’ Marx menjadi sangat relevan, lihat, banyak ke fokus pada gejolak relasi-relasi kekuatan produksi. Jika memang perlu ‘kambing hitam’, relasi-relasi kekuatan produksi yang berkembang menjadi sungguh mbèlgèdès-lah ‘kambing hitam’-nya. Dan itu pertama-tama adalah relasi produksi ‘berbasis’ rent seeking activities itu. *** (18-04-2022)