29-03-2022
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” demikian si-Bung berseru, jasmerah. Pada saatnya ratusan juta manusia berhasil diyakinkan bahwa ia tak jauh beda dari lebah madu –khususnya ‘kelas’ pekerja lebah madu: bekerja sesuai dengan kemampuan, mengkonsumsi sesuai dengan kebutuhan. Pada saatnya pula ratusan juta manusia mengalami perbudakan dalam bermacam bentuknya, eksploitasi berjalan dengan begitu brutalnya -exploitation de l'homme par l'homme. Hal untung-rugi yang sudah menjadi begitu bengisnya. Jika ditelusuri sedikit lebih jauh, nampaknya soal bagaimana kekayaan dibagi bisa-bisa menjadi tema sentralnya. Apakah itu di tangan 100% politik? Atau 100% di pasar? Jika kita tidak melupakan sejarah maka kita bisa belajar, ke-seratus-persen-annya itu ternyata menggendong bermacam biaya yang tidak kecil. Terutama biaya kemanusiaannya. Maka pertanyaannya bukanlah mana yang 100%, tetapi mana yang ‘primer’? Keprimeran ‘politikal’ atau keprimeran ‘ekonomikal’?
Maka basis dinamika politik adalah soal bagaimana pembagian kekayaan itu berujung. Tentu tidak sekedar itu politik berurusan, tetapi pada dasarnya terutama adalah untuk itu, soal pembagian kekayaan. Dalam era monarki, pembagian kekayaan lebih terserap pada sang raja dan kaum bangsawannya. Pada rejim oligarki, lebih terserap pada segelintar saja, si-olig, si-sedikit. Rejim demokrasi mengangankan kekayaan bisa terbagi sebagian besarnya bagi si-demos, rakyat kebanyakan. Melalui apa kekayaan bisa terbagi pada si-demos? Adakah yang lebih efektif soal pembagian kekayaan ini selain melalui pasar? Kembali kita bisa belajar dari sejarah, pasar-lah yang bisa secara efektif dalam upaya membagi kekayaan ini. Masalahnya adalah, pasar yang bagaimana? Pasar yang di-klaim sebagai self-regulating-market itu ternyata juga banyak menyisakan tragedi kemanusiaan. Bagaimana jika politik terlalu banyak campur tangan di pasar? Atau, bagaimana jika politik lebih banyak di tangan kaum bajingan, kaum ‘rascals’[1] itu? Bagaimana jika politik ada dalam genggaman para mafia? Maka soal tahu batas menjadi penting di sini. Dan soal tahu batas ini akan melibatkan secara intens soal nalar dan latihan. Latihan yang terus-menerus akan membangun sebuah komitmen. Dalam banyak hal, dalam praktek, komitmen adalah satunya kata dengan tindakan.
Tidak mudah mengurai ini, apalagi seperti ditunjukkan oleh Nietzsche, will to power itu bahkan bisa meminggirkan will to survive. Tetapi ada satu alarm deteksi dini yang mungkin perlu lebih diperhatikan, yaitu ketika demokrasi mengalami serangan bertubi-tubi, dalam bermacam bentuknya, maka soal pembagian kekayaan yang akan semakin menjauh dari si-demos, rakyat kebanyakan, mestinya sudah bisa diraba. Karena bandul akan kembali berayun ke oligarki, atau tirani. Dengan segala konsekuensinya. *** (29-03-2022)
[1] https://www.pergerakankebang
saan.com/304-Surat-Edward-Rutledge-ke-John-Jay-24-Nov-1776/