18-03-2022
Masalah carut-marut minyak goreng berbulan terakhir ini memberikan pelajaran sungguh berharga. Benarkah politik, dan juga lainnya di ‘bangunan atas’ akan ditentukan oleh dinamika ‘basis’? Dinamika relasi-relasi kekuatan produksi? Apakah sedemikian ‘deterministik’-nya, sehingga memang 100% ‘basis’ akan menentukan? Ataukah masih ada peluang bagi politik untuk mampu mempengaruhi relasi-relasi kekuatan produksi yang ada di ‘basis’ itu? Tentu ada peluangnya, kalau tidak maka tidak akan ada yang berseru: laissez faire, sekitar tahun 1760-an di Perancis sana. Atau di ujung gelapnya, tidak akan ada kerisauan tentang ‘rent seeking activities’.
Maka meski ‘kekuatan’-nya kurang dahsyat dibanding ‘kekuatan’ dari ‘basis’, politik seperti ditunjukkan di banyak komunitas ternyata bisa tidak sekedar ‘menyerah’ terhadap mau-maunya ‘basis’. Tidak mudah memang, dan bahkan harus ‘berdarah-darah’ sehingga manusia dengan segala potensinya mampu menemukan ‘jalan-politik’ yang relatif tidak mau menyerah saja pada mau-maunya bermacam relasi kekuatan produksi di ‘basis’ tersebut. Kita bisa menelisik dari fakta-fakta sejarah bagaimana ‘kediktatoran-kaum-bangsawan’ dan ‘kediktatoran-proletariat’ (apa bedanya?) itu mengalami keretakan dan akhirnya harus ‘kompromi’ dengan relasi-relasi kekuatan produksi itu. Demokrasi bagaimanapun juga memberikan harapan besar supaya bandul tidak terayun pada kediktatoran lainnya: ‘kediktatoran modal’. Atau kembali pada bermacam bentuk kediktatoran ‘masa lalu’. Demokrasi semestinya juga memberikan harapan untuk tidak kembali pada mono-arki, maupun olig-arki. Ataupun terjerumus dalam an-arki.
Tetapi masalahnya, dalam perjalanan sejarahnya manusia selalu akan dalam bayang-bayang potensi munculnya bermacam kegilaan, dan kegilaan yang ‘paripurna’ di ranah negara-bangsa modern adalah ketika hasrat menjadi Tuhan sudah tak bisa dibendung lagi. ‘Tuhan Sang Penentu’ dalam segala halnya, terutama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Tuhan yang mengatasi waktu juga. Bukan berarti pula bahwa dalam kegilaan itu terus ‘rasionalitas’ kemudian minggir dulu. Bahkan bisa-bisa di belakang kegilaan untuk menjadi Tuhan ini adalah orang-orang cerdas. Hanya saja akal lebih diabdikan pada apa yang disebut Albert Camus sebagai ‘kejahatan logika’.
Anda pada saat itu mungkin memang sedang sehat-sehat saja, tetapi bagaimana jika ketemu A dan A mengatakan bahwa kok anda nampak pucat? Mungkin anda tidak percaya, tetapi bagaimana jika si-B, C, D, E, dan lain-lainnya mengatakan hal sama? Salah satu ‘psikologi rumor’ adalah seperti itu, keber-tubi-tubi-annya bisa-bisa mengkondisikan kita dalam situasi tertentu. Demikian juga ketika sekelompok orang yang sedang ‘berkreasi’ untuk menciptakan effek bandwagon dan terus mengatakan bahwa anda adalah pemimpin yang kualitasnya mendekati Tuhan? Bisa-bisa tidak hanya efek bandwagon yang diperoleh, tetapi juga justru hasrat menjadi Tuhan itu seakan telah dibuka pintunya lebar-lebar. Bisa-bisa ‘tukang glembuk’-pun akan terjerembab dalam ‘glembukan’ yang ditebar orang-orang sekitar yang sudah begitu rakusnya itu. ‘Senjata makan tuan’, cuk ....
Maka input atau masukan dalam ranah politik-pun tidak boleh main-main. Main-main memakai masker dengan karakter lidah ‘mèlèt-mèlèt’ itu, jelas laku ndèk-ndèk-an yang ujungnya bisa-bisa akan begitu mudah tersapu oleh gejolak di ‘basis’. Politik yang disesaki oleh aktor-aktor nir-komitmen dalam rekam jejaknya hanya akan membuat politik tidak berdaya menghadapi bermacam gejolak di basis. Yang berkali-kali meninggalkan janji-janji terucap, berulang kali gegayaan sok-sok-an saja, jelas sebenarnya ia adalah juga sampah politik. Tidak lebih dari itu. *** (19-03-2022)