17-03-2022
Tidak mudah untuk menjawab apa itu adil, tetapi sering lebih mudah menghayati ketika ketidak-adilan itu mendekat. Sering memang ‘situasi negatif’ lebih mudah dihayati. Konsep keadilan sendiri terus berkembang dari masa ke masa. Pendapat Platon lebih dari 2000 tahun lalu, adil adalah ketika masing-masing melaksanakan tugas-kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Tentu ini bisa diperdebatkan berdasarkan berkembangnya bermacam konsep keadilan setelah itu. Tetapi dari Platon kiranya dapat untuk ‘deteksi dini’ sebuah ketidak-adilan, yaitu katakanlah, ketika masing-masing justru tidak melaksanakan tugas dan kewajiban dengan sebaik-baiknya. Ketika terjadi bermacam ‘lompat pagar’ secara ugal-ugalan.
Bayangkan saja ketika demi mempertahankan kedaulatan ia boleh pegang senjata, bahkan tank, kapal perang, dan pesawat tempur, tetapi di kemudian hari ia ‘lompat pagar’ justru sebagai alat represi rakyat. Atau yang pegang senjata demi keamanan dan ketertiban, sama yaitu ketika ‘lompat pagar’ justru lebih mengabdi pada pemilik modal, misalnya. Atau orang dan instansi lain yang suka lompat-lompat pagar dengan enteng-enteng saja. Maka jika mengikuti Platon, dalam gambar besarnya itu sudah bukan lagi soal ‘mis-manajemen’ atau apalah mau disebut, tetapi potensi ketidak-adilan yang akan merebak haruslah selalu dibayangkan.
Mengapa ketidak-adilan ini tidak boleh dilupakan? Menurut Uskup Dom Helder Camara, ketidak-adilan adalah sumber utama dari merangkaknya ‘spiral kekerasan’. Ketidak-adilan akan mengundang reaksi dari rakyat kebanyakan, dan jika rejim atau penguasa tidak hati-hati dalam merespon, justru kekerasan-lah yang akan tampil ke depan. Penggunaan kekerasan justru akan semakin memperbesar ketidak-adilan, yang ujungnya reaksi dari rakyat kebanyakan akan membesar pula, dan respon penguasa-pun bisa semakin represif, kekerasan semakin membesar, dan ketidak-adilanpun akan semakin meluas juga. Dan seterusnya, spiral kekerasan itupun semakin mendekati kebrutalannya. *** (17-03-2022)