10-03-2022
Standar adalah serapan bahasa asing, standard, yang dari asal katanya lekat dengan ranah militer. Dalam perang jaman doeloe, bendera misalnya, ditancapkan sebagai tanda serangan ditujukan. Dalam perjalanannya, nuansa ini kemudian terserap dalam industri kemiliteran ketika alat-alat perang harus dikirim ke tempat jauh, dan untuk pengangkutan harus dilepas bagian-bagiannya. Juga karena pengadaan massal kemudian menjadi tuntutan karena kebutuhan perang. Di Perang Dunia sekitar 100 tahun lalu. Maka berkembang dengan cepatlah apa yang sekarang kita kenal sebagai ISO itu. Atau yang di rumah sakit atau perguruan tinggi, ada akreditasi. Atau soal jaminan mutu, quality assurance. Atau juga istilah gugus kendali mutu. Untuk melihat kompetitor ataupun posisi diri di tengah kecamuk kompetisi, kita mengenal proses ‘patok duga’.
Memang ‘olah-standar’ ini lebih berkembang dalam ‘ranah pasar’ dibanding dengan ‘ranah masyarakat sipil’ maupun ‘ranah negara’. ‘Creative destruction’ di ranah pasar (kapitalisme) nampaknya menjadi salah satu pendorong. Ada ancaman ‘kematian’, katakanlah: bangkrut. Tersingkir dalam hiruk-pikuknya pasar. Di ranah masyarakat sipil, mungkin bukan kebangkrutan, tetapi adanya sangsi sosial mestinya akan membuat ‘aktor-aktor’ di ranah tersebut akan menjadi tidak mudah ugal-ugalan. Ada standar-standar tertentu, dan sebagian besarnya adalah ‘standar kepatutan’. Maka dasar pondasi di ranah masyarakat sipil itu adalah kepercayaan.
Jika van Peursen dalam Phenomenology and Reality (1972) menyebut bahwa horison adalah juga ‘room for progress’ maka perluasan horison berarti juga perluasan, penambahan, kemungkinan sebuah ‘progress’. ‘Standar’ dalam hal ini jelas merupakan salah satu bagian dari horison, dan jelas juga bermacam standar itu bisa dikatakan sebagai ‘kesepakatan sementara’ yang dimungkinkan diganti dengan standar baru. ‘Percepatan’ perluasan horison bisa-bisa akan membuat satu komunitas ‘lebih maju’ dibanding dengan lainnya. Alih teknologi bisa dikatakan juga sebagai bagian ‘mengejar’ ketertinggalan dalam luasnya horison. Atau bahkan upaya spionase, pencurian bermacam kemajuan teknologi. Mungkin ada yang perlu diperhatikan, ‘keberanian’ menerobos horison. Para petualang, penjelajah, adalah salah satu ujung tombak dalam menerobos horison. Demikian juga para peneliti. Tetapi jangan dilupakan peran para seniman, yang dalam beberapa hal seakan meminggirkan bermacam ‘standar’ itu. Ia seakan terlibat secara tidak langsung ‘mendidik’ komunitas untuk menghayati horison sebagai hal yang dinamis. Menghayati horison tidak dalam modus ‘mitis’-nya.
Bagaimana kita menghayati adanya negara? Adanya ranah negara itu? Ranah negara berdasarkan hukum itu? Tidak lain adalah melalui pengelola-pengelola negaranya. Bagaimana pengelola negara menghayati hukum dalam ‘negara berdasarkan hukum’? Taat hukum? Taat konstitusi? Apakah untuk membawa maju cukup taat hukum saja? Bagaimanapun ‘taat hukum’ hanyalah syarat yang mencukupi, ia perlu ‘syarat mutlak’ jika ingin membawa maju negara-bangsa yang dikelolanya. Itu adalah soal bagaimana ‘meluaskan horison’ bersama-sama dengan yang dipimpinnya. Katakanlah ‘taat hukum’ itu adalah hal ‘teknis’, maka jangan sampai hal ‘teknis’ itu mengalahkan yang ‘esensi’. Jika terbalik, bisa-bisa hukum akan dibuat semau-maunya. Dan ujungnya justru akan mendekat pada sebuah krisis.
Horison adalah khas manusia, maka horison juga akan lekat dengan relasi-relasi antar manusia. Bahkan percepatan perluasan horison akan lebih berdaya jika terjadi dalam bermacam relasi antar manusia. Maka adalah tepat jika istilah ‘menegara’ (Driyarkara) jangan dilupakan. Karena dalam ‘menegara’ intersubyektifitas itu akan saling meluaskan horison masing-masing. Dan dari Marx kita bisa belajar untuk menaruh perhatian lebih pada relasi-relasi faktor-faktor produksi di basis. Katakanlah dinamika dalam relasi-relasi produksi itu sebagai ‘pihak ketiga’ yang ‘mendekatkan’ satu sama lain sehingga ‘imajinasi’ tidak begitu liar kemana-mana. Juga supaya tidak jatuh pada situasi ngibul di sana ngibul di sini, di mana-mana isinya ngibul melulu. Rusia sekarang adalah yang sudah meninggalkan nasehat Marx, ketika sumber daya alam yang melimpah itu lebih di tangan kaum oligark. Putin pada awalnya mampu menjinakkan kaum oligark yang begitu ugal-ugalan di era Yeltsin. Tetapi ia lupa, bagi kaum oligark, ‘banyak jalan ke Roma’. Maka perlahan diangkatlah Putin sebagai ‘sultan’-nya kaum oligark. Tidak jauh dari jaman old di republik. Dengan segala komplikasinya.
Judul ‘amblasnya standar’ lebih menunjuk pada ranah negara. Melupakan hal esensi. Asyik-tenggelam berurusan dengan ‘teknik’ kuasa. Tidak hanya melupakan hal ‘menegara’, bahkan seakan sudah menjadi banal soal ‘asal njeplak’ itu. Bahkan lagi soal ‘standar kepatutan’-pun tidak bisa. Berjalan seakan tidak punya kode etik. Tidak punya etika! Tidak ada dalam imajinasi mereka. Rusak-rusakan. Nampaknya benar yang pernah dikatakan Napoleon: “When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.” *** (10-03-2022)