04-03-2022
Ngibul di ranah kekuatan kekerasan itu mestinya sungguh dihindari. Karakteristik kekuatan kekerasan adalah kematian akan datang lebih cepat dibanding ranah kekuatan uang dan pengetahuan. Kematian ketika kekuatan tersebut menjadi ‘lepas kendali’. Bahkan pula ketika dalam ‘kendali penuh’. Kematian mendekat dalam arti ‘hukum-rimba’-nya, berdarah-darah. Mendorong orang-orang yang di belakang kekuatan kekerasan untuk menjadi profesional di bidangnya sungguh tidak mudah. Potensi ledakan amunisi di tangan itu seakan sudah memberikan ‘kekuasaan’ tersendiri. Baru terdengar suaranya saja kebanyakan orang sudah langsung berdiri bulu kuduknya. Dan mencari tempat berlindung. ‘Hasrat akan kuasa’ menjadi sedemikian melekatnya dan mudah bergejolak ketika alat-alat kekerasan ada dalam genggaman. Sungguh ‘godaan’ yang tidak kecil. Maka ‘kode etik’ –code of conduct, adalah menjadi sangat penting, dan bukan sekedar formalitas belaka. Juga bagaimana hasrat ‘disalurkan’: latihan perang secara teratur. Jangan sampai ‘ledakan energi’ itu salah arah, salah sasaran.
Ngibul jelas bukan mainan dalam kekuatan kekerasan. Dan sebetulnya juga di ranah-ranah lainnya. Tetapi di ranah kekuatan kekerasan, ngibul dampaknya bisa bikin terkaget-kaget. Bahkan bisa-bisa sebuah per-kibul-an akan mendatangkan ‘efek kupu-kupu’ di ujung jauh sana. Sebuah ‘badai-kekerasan’ yang membuat banyak orang awam menjadi jungkir-balik-berdarah-darah. Dan pintu masuknya adalah soal martabat, atau tepatnya, keutamaan keberanian. Ber-keutamaan itu akan selalu ada ‘di tengah’, dalam arti bukan ke-martabat-an yang kemudian mengarah pada ‘chauvinisme’ misalnya –keluaran dari ‘ngibul’-nya a la Hitler itu –atau lainnya, atau juga sebaliknya, jatuh pada kepengecutan.
Maka menjaga martabat dari si-pemegang alat-alat kekuatan kekerasan penting sekali untuk dilakukan. Menjaga martabat dalam konteks keutamaan keberanian seperti sudah disebut di atas. Menjaga martabat untuk tidak menjadi sewenang-wenang, tahu batas. Menjaga martabat untuk supaya bisa diandalkan, bukan malah sibuk ‘berbisnis’ misalnya. Diandalkan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya: berdiri paling depan jika perang meletus. Menjaga martabat terutama dengan mendorong pelaksanaan ‘kode etik’ secara sebagaimana mestinya. Atau dalam kata-kata awam, satunya kata dengan tindakan.
Maka per-kibul-an dalam ranah kekuatan kekerasan, itu lebih dari sekedar ‘virus’, tetapi seakan sedang dimasukkan dalam tubuh bermacam sel-sel kanker. Sel-sel yang akan memakan atau mengalahkan sel-sel sehat yang semestinya berkembang dan mendukung kehidupan. Ngibul pada dasarnya adalah miskin hormat pada yang ada di depan hidungnya. Tukang ngibul bisa-bisa tak paham soal apa itu kehormatan. Apa itu martabat. Dan ketika yang pegang alat-alat kekerasan itu dicontohkan laku tak terhormat, bisa runyam nantinya. Pemimpin yang tak paham soal martabat, dalam perang hanya akan membawa ke dalam kehancuran saja. Dan itu dimulai dari ‘kehancuran’ orang-orang yang pegang alat-alat kekerasan. Yang pegang alat-alat perang. Jika terjadi ‘mediokerisasi’ dari yang pegang alat-alat perang, yang pegang alat-alat kekerasan, bisa-bisa sejarah gelaplah yang akan ditapak. Medioker, dalam arti menjauh dari sikap profesional, seperti sudah disinggung di bagian awal tulisan. Menjadi bukan ‘alat’ negara lagi, tetapi lebih sebagai ‘alat’ rejim.
Meredupnya keutamaan, terlebih di kalangan ‘famous sect’ –meminjam istilah Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments, sejarah bisa berayun ke ujung ‘chauvinisme’ ataupun ke ujung lainnya, ‘kepengecutan’. Dengan rute yang bisa bikin terkaget-kaget bagi kebanyakan orang. *** (04-03-2022)