14-02-2022
Arus balik reformasi, dan juga sekaligus arus balik demokrasi? Atau karena kita hidup dalam sebuah tatanan global, apakah arus balik demokrasi juga telah menjadi kecenderungan di banyak tempat? Berapa negara di Afrika misalnya, yang mengalami kudeta militer dalam tahun-tahun terakhir ini? Juga tetangga dekat: Myanmar. Dua puluh tahun setelah reformasi? Tiga puluh tahun setelah Tembok Berlin itu runtuh? Atau 50 tahun setelah denyut neoliberalisme itu berdetak kencang? Seratus tahun setelah Perang Dunia I? Seratus tahun setelah pan-britanica itu bergeser? Apakah imajinasi soal ultra-minimal state itu sudah mendekati batas-batasnya? Atau, akankah ditemui lagi ‘negara dengan segala kejahatan’-nya?
Maka bisa-bisa peristiwa di desa Wadas Purworejo itu tidak lagi berdiri sendiri. Juga peristiwa-peristiwa lainnya yang banyak kemiripannya. Pindah IKN juga bukan lagi sekedar ritual pindahan saja. Bukan lagi soal warisan si A atau si B. Lempar-lempar bingkisan ke rakyatnya itu bisa-bisa juga bukan lagi sekedar hobi atau cekak-nya imajinasi. Dunia bergerak, jaman bergerak, dan jika kita tidak siap maka mungkin saja apa yang disebut Emha bahwa 2024 kita akan menjadi bangsa jongos total akan semakin membayang dekat.[1] Menjadi jongos total itu adalah saat tidak tahu lagi apa yang ada dalam kendali atau tidak. Tidak siap itu juga soal apakah benar-benar paham apa yang ada dalam kendali atau tidak. Jika salah satu tekad Reformasi adalah pemberantasan KKN, maka memahami bahwa masalah pengendalian KKN sepenuhnya ada dalam kendali adalah sebuah titik pijak. Maka jika KKN justru malah merebak kemana-mana, meluas dan semakin dalam, bisa dikatakan Reformasi telah hilang kendali. Bahkan bisa-bisa sudah terjadi ‘arus balik reformasi’.
Jika dalam ‘jaman bergerak’ itu ada pihak-pihak yang membutuhkan sekutu, jangan-jangan ‘cerita lama’ kembali berulang. Rejim korup-pun akan didukung habis-habisan asal tetap mau dalam ‘persekutuan’ dengannya. Ada di pihak mereka. Bahkan jika itu kemudian berkembang menjadi rejim tiran sekalipun. Anak misalnya, menjadi ugal-ugalan karena merasa bapaknya akan selalu melindungi, seakan sudah tidak ada lagi urusannya dengan apakah yang dilakukan itu benar atau salah. ‘Paradigma loyalitas’ dalam ‘persekutuan’ bisa-bisa menggeser ‘paradigma loyalitas’ terhadap cita-cita bersama yang sudah disepakati. Pakta dominasi ‘primer’ itu kemudian sungguh menentukan apa-apa yang akan dilakukan oleh pakta dominasi ‘sekunder’. Maka sekali lagi, seakan soal pemberantasan KKN itu kemudian menjadi tidak dalam kendali lagi. Justru KKN bisa-bisa semakin merebak karena seakan juga telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bertahannya sebuah rejim. ‘Rejim yang akan selalu terdukung’ karena merasa ‘sekutu besarnya’ akan selalu melindungi. *** (14-02-2022)
[1] https://www.pergerakankebang
saan.com/002-Cak-Nun-dan-Elysium/