07-02-2022
Homo ludens dengan ‘insting bermain’-nya ternyata tidak hanya soal sosialisasi. Seperti anak-anak kucing yang sedang ‘berkelahi’ itu. Main-main. Juga tidak hanya penyaluran bermacam emosi destruktif, nonton sepakbola di pinggir lapangan misalnya. Tetapi ternyata juga untuk mencapai sesuatu. Seperti juga misalnya, saat anak-anak kucing itu main ‘kelahi-kelahi-an’, ternyata pada titik tertentu sampai juga pada untuk menegaskan siapa yang terkuat diantara mereka. Mendekati sebuah ‘permainan yang dipersungguh’ sebab ada yang mau dicapai di luar ‘kesenangan’ permainan itu sendiri.
Lewat ‘insting bermain’ ini juga bisa muncul sebuah upaya menempatkan sesuatu sebagai ‘pengetahuan tersembunyi’ di banyak khalayak. Sebuah ‘pengetahuan tersembunyi’ yang akan ‘digunakan’ oleh khalayak untuk menghayati-mendukung sebuah rejim, misalnya. Orang mungkin sulit mengungkap bagaimana ia naik sepeda itu, seakan itu hanya dilakukan begitu saja, ‘know-how’. Bagaimana jika bukan soal naik sepeda, tetapi soal sikap-penghayatan-penerimaan terhadap sebuah rejim? Yang bahkan misalnya, omongan para pakar-pengamat-kredibel-pun akan tidak mempan lagi untuk mengubahnya? ‘Know how’ yang dalam beberapa konteks menurut Gilbert Ryle misalnya, bisa jatuh pada ‘anti-intelektualis’.
Maka ‘main raja-raja-an’-pun akan dijalani jika imajinasi soal rejim monarki sudah membayang. Rejim yang kemudian menjadi paling efektif untuk mengendalikan ‘yang banyak’ itu. Dan jika itu mengalami keretakan misalnya, tinggal melangkah saja ke tirani. Jika para ‘teknokrat’ itu sudah ‘menghilang’ dari jajaran, maka ‘partner’ ideal adalah si-oligarki. Pergeseran yang bisa dilihat dari hilangnya kaum teknokrat diganti oleh yang sekedar kepanjangan tangan kaum oligarki. Kalau jaman old kaum teknokrat bisa bertahan sampai dua periode, jaman now cukup katakanlah sepertiga periode. Sebab menurut Jeffry Winters, runtuhnya sebuah rejim belum tentu juga runtuhnya sebuah oligarki. Maka permainan ‘raja-raja-an’-pun digelar rutin untuk ‘melumpuhkan’ yang banyak itu. Kelumpuhan melalui bermacam rutenya. Juga katakanlah para ‘intelektual-organik’-pun –yang melawan proses kelumpuhan ‘yang banyak’ itu, diajak-dipaksa untuk masuk dalam permainan yang bahkan aturan mainnya kemudian cenderung ‘anti-intelektual’. Yang menghadapi adalah otot-otot di sekitar mulut, tidak di otak. Banyak contohnya. Banyak jejak digitalnya.
Raja-raja-an tentu harus bermain ‘tuli’ juga, artinya khalayak-jelata tidak perlulah didengar. Yang didengar hanyalah para bangsawan di lingkar dekatnya saja. Para bangsawan dengan ‘daerah penaklukannya’ masing-masing, atau lapak-lapak yang diberikan atas ‘kemurahan hati’ sang raja. Raja-raja-an tentu juga boleh melanggar aturan berulangkali karena menurut Louis XIV, ‘saya adalah hukum’. Dan apa yang dibayangkan Negri dan Hardt dalam Empire (2000), mengambil pendapat Polybius lebih 2000 tahun lalu, rejim campuran-lah yang kemudian diidamkan. Rejim campuran monarki/tirani, oligarki, dan demokrasi. Hanya saja yang terakhir adalah lebih pada bagaimana ‘yang banyak’ itu dikendalikan. Kata aktivis jaman old, demokrasi seolah-olah. Tidak lebih dari itu. Deja vu? *** (07-02-2022)