15-01-2022
Ketika bersih-bersih ruang pustaka, tidak sengaja menemukan lembaran lama, Nota Pastoral KWI 2004, Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa. Keadilan Sosial Bagi Semua: Pendekatan Sosial-Budaya. Dan juga Nota Pastoral KWI 2006, Habitus Baru: Keadilan Bagi Semua. Pendekatan Sosio-Ekonomi. Sungguh suatu keinginan yang sangat-sangat berat. Atau bahkan mimpi? Tidaklah, tetapi sangat dekatlah dengan mimpi jika melihat tantangan di depannya. Atau bagaimana setelah 16-18 tahun kemudian, masihkah dekat dengan mimpi? Ataukah masih perlu Nota Pastoral tambahan? Misal, Habitus Baru: Keadilan Bagi Semua. Pendekatan Sosial-Politik.
Tulisan ini bukan dimaksud membedah Nota-nota Pastoral di atas, tetapi lebih mengingatkan bagaimana jika ternyata ranah politik merupakan tempat di mana ‘modal tertinggi’ bersemayam, dalam konteks ‘teori tindakan’-nya Bourdieu di ranah hidup sebagai satu bangsa. Karena bahkan ‘will to power’ itu bisa mampu meminggirkan ‘will to survive’. Jadi, bagaimana ‘nasib’ dua Nota Pastoral KWI seperti disebut di atas? Apalagi jika diingat, itu ada dalam komunitas dengan power distance (Hofstede) tinggi. Dimana dalam komunitas dengan power distance tinggi itu kuasa bisa-bisa dihayati sebagai serba ‘putih’. Sangat potensial untuk menjadi ugal-ugalan, menjauh dari ‘keadaban publik’. Mungkin tidaklah sama persis, tetapi untuk menghindarkan pemahaman soal habitus -yang memang berasal dari kata habit, dengan ‘kebiasaan’ saja, sedikit diajukan di sini soal archetype Jung-ian itu. Maka pertanyaan dalam judul bisa berubah, apa yang sedang ditebar terus-menerus, sedikit-demi-sedikit bertahun lamanya sehingga bisa masuk sebagai ‘pengetahuan tersembunyi’ pada banyak khalayak di ranah politik itu?
Dari Syed Hussein Alatas kita bisa belajar bagaimana mitos ‘bangsa malas’ yang ditebar –sadar atau tidak, oleh penjajah terhadap komunitas yang sedang dijajahnya. Dalam bukunya The Myth of the Lazy Native, terbit pertamakali tahun 1977. Bagaimana kekuatan mitos ini secara cepat bisa kita raba dari ungkapan John F. Kennedy di sekitar pertengahan dekade 1960-an: “The great enemy of the truth is very often not the lie, deliberate, contrived and dishonest, but the myth, persistent, persuasive and unrealistic.” Mengapa begitu? Lanjut Kennedy, karena : “We enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought.” Bertahun terakhir, apa ‘mitos’ yang sedang dibangun di ranah politik? Sehingga khalayak-pun akan bisa spontan ‘bereaksi’: ‘politik ya gitu tuh ...’
Satu hal yang ‘digempur’ habis-habisan di ranah politik adalah soal ‘komitmen’. Komitmen sendiri adalah serapan dari bahasa asing yang terdiri dari dua kata, com dan mittere. Mittere sendiri adalah juga akar kata dari misson, misi. Jadi bisa dibayangkan bahwa komitmen ini dari asal kata salah satunya berarti juga: misi bersama. Sebuah misi bersama dengan sebagian besar khalayak pada awalnya (karena menang pemilu), mau kemana, bagaimana hidup bersama ini akan dijalankan, paling tidak 5 tahun ke depan. Sedangkan soal visi (bersama) sebenarnya sudah jelas ada dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari apa-apa yang bisa dilihat ke belakang, beberapa tahun ke belakang, nampaklah bahwa ‘pembunuhan karakter’ komitmen ini erat terkait dengan com-nya, terkait dengan dimensi ‘bersama’-nya, karena di ujung kemudian muncul pertanyaan: ‘bersama’ siapa? Ketika kampanye, ditegaskan berulang-ulang: bersama anda-andalah yang memilih kami, begitu katanya. Setelah terpilih? Ternyata ‘bersama’ pihak lain. Sudah bukan lagi ‘silent takeover’, meminjam Noreena Hertz, tetapi kasar, vulgar, dan sebenarnya: brutal. ‘Pembunuhan karakter’ ini bisa diraba dari misalnya, bagaimana dalam satu rentang waktu tertentu ‘hikayat kutu loncat’ itu begitu menyesaki pemberitaan. Tentu ‘loncat’ ke kubu lain tetaplah sebuah kemungkinan, tetapi tanpa ‘discomfort of thought’ seperti dikatakan Kennedy di atas? Jangan-jangan ini juga bagian dari membangun mitos: ‘politik ya gitu tuh’. Atau lihat bahkan kata ‘komitmen’ sendiri sudah jadi bahan permainan, ketika bertemu dengan beberapa guru besar yang sungguh sebagian besarnya telah teruji komitmen dan integritasnya.
Mengapa bicara ‘komitmen’ ini kemudian menjadi penting? Pertanyaannya adalah, apa yang menjadi dorongan utama dalam ranah politik yang menurut Marx ada di ‘bangunan atas’ itu, sehingga ia dapat mempengaruhi gejolak yang ada di ‘basis’? Politik yang bisa ditarik di ujung satu, saking ‘gemes’-nya terhadap dinamika basis sehingga muncul ‘kediktatoran proletariat’ itu, atau saking memuja ‘basis’ sehingga menjadi ‘ultra-minimal state’ itu? Maka selain komitmen, keutamaan prudence mesti juga ada ketika memang sudah memilih di antara dua ‘kutub’ itu. Jika dua hal itu berkembang dalam dinamika si-‘pemegang modal tertinggi’, harapan untuk terbangunnya ‘habitus baru’ bolehlah dibayangkan lagi.
Tetapi bukankah perdagangan itu juga akan mendorong berkembangnya peradaban? (Cat. perdagangan seperti apa?) Juga soal budaya dan sekitarnya? Ya, tentu. Tetapi sejarah mencatat juga bagaimana itu dengan mudahnya ‘dilemahkan’ oleh ranah politik yang menjauh dari komitmen dan dilakukan secara ugal-ugalan. Buktinya? Lihat tulisan Koentjaraningrat dan Moctar Lubis (soal sekitar ‘manusia Indonesia') hampir 50 tahun lalu, rasa-rasanya kok masih relevan diulas lagi. Seakan waktu berjalan sangat lambat. Sementara dunia bahkan sudah berlari kencang. *** (15-01-2022)