03-11-2021
Karena merasa mempunyai kekuasaan absolut, maka seorang diktator bisa berbuat semau-maunya. Masa lalu bisa berubah begitu otoriternya ketika ia semau-maunya, kadang tidak hanya ingin diingat saja, tetapi juga maunya dirayakan besar-besaran. Atau menebar dendam tanpa putus. Bahkan jika ada yang tidak merayakan maka ramai-ramai akan dipinggirkan. Atau jika ada yang tidak paham akan dendamnya, tiba-tiba saja menjadi musuh bersamanya. Tetapi kadang juga masa lalu maunya dibelokkan kemana-mana. Masa lalu ‘dikonstruksi’ sesuai selera. Atau bahkan minta untuk dilupakan. Lihat misalnya jika mendekati pemilihan, masa lalu minta dilupakan lebih dahulu. Semau-maunya. Atau kalau bisa masa lalu itu justru mati-matian dicuci bersih dan digantikan dengan gambar masa datang yang penuh sinar memabukkan. Bagaikan sebuah dongeng yang menyihir. Maunya.
Sebagian besar hidup kita memang ada dalam ‘kediktatoran’ masa lalu. Ketika kita dipersimpangan yang ada lampu pengatur lalu lintasnya, masa lalu kita akan memerintah dengan tegas bahwa jika lampu merah menyala maka harus berhenti dulu. Masa lalu yang kita dapat karena diberitahu, diajarkan, atau melihat-mendengar pengalaman orang lain. Tanpa berpikir panjang lagi kitapun akan mengikutinya. Ada banyak sekali hidup akan kita jalani dengan ‘modus’ seperti itu. ‘Kediktatoran’ masa lalu itu tanpa dirasakan lagi perlahan dalam sebagian besar hidup kita telah menjadi sosok ‘diktator yang baik hati’. Karena memang nyatanya telah banyak mempermudah kita dalam menjalani hidup ini. Taken for granted saja.
Apa esensi dari demokrasi itu? Apakah itu berarti kedaulatan di tangan rakyat? Berdaulat untuk apa? Kuasa untuk apa? Machiavelli pernah mengingatkan bahwa soal merebut kekuasaan itu akan atau bisa berbeda dengan saat menggunakan kekuasaan. Atau katakanlah ketika hegemonia itu sudah ada dalam genggaman maka akan terhayatilah sebagai arché. Arché berarti ‘kontrol’, dan sifatnya selalu hirarkis. Dan sekali arché ditetapkan, menjaga-merawat hirarkis tiba-tiba saja akan menjadi ‘tugas’ utamanya.[1] Maka kuasa-kedaulatan di tangan demos dalam demokrasi itu pertama-tama sebenarnya bukan berurusan soal perebutan hegemonia-nya, tetapi adalah untuk kontrol arché ini. Kemungkinan adanya kematian arché, kematian rejim adalah titik tolaknya. Bahkan dalam gambar besarnya, kematian republik.
Atau tegasnya, kuasa di tangan demos dalam ranah demokrasi adalah kuasa untuk mengakhiri sebuah rejim, pertama-tamanya, utamanya. Kejahatan utama ‘ambang batas pencalonan presiden’ yang dibuat 20% itu adalah bukan pada mempersempit calon, tetapi adalah mempersempit ruang gerak demos dalam upaya ‘membunuh’ sebuah rejim, melalui pemilihan tentunya. Demikian juga segala upaya pelemahan oposisi, baik dalam parlemen maupun di masyarakat sipil. Maka sebenarnya, memang sebuah rejim akan selalu ada dalam bayang-bayang ‘kematian’, mestinya. Karena selalu ada dalam bayang-bayang ‘kematian’ maka sebuah rejim akan selalu dalam situasi ‘cemas’. ‘Cemas’, bukan takut. ‘Kecemasan’ ketika berhadapan dengan ‘kematian’ ini akan selalu menuntut adanya sikap yang melebihi modus taken for granted itu. Sebuah rejim akan selalu dihadapkan pada situasi untuk membuat suatu keputusan-keputusan yang katakanlah ‘tidak biasa-biasa’ lagi. Suatu keputusan yang selalu merupakan keputusan ‘penting’. Karena ia sedang berhadapan dengan ‘kematian’. Maka bisa dikatakan, keutamaan prudence mestinya pertama-tama harus ada dalam diri pemimpin.
Melebihi sikap ‘taken for granted’ itu berarti juga mampu ‘menunda masa lalu’ dengan segala dimensinya termasuk ‘kuasa-otoritarian’-nya itu. Dan kemudian ketika menghadapi situasi tertentu ia akan berdiri layaknya seorang ‘pemula’. Dia akan melihat bermacam sisi, aspek, profilnya, dan kemudian dengan itu bermacam imajinasipun akan berkembang. Dengan melakukan komunikasi bersama koleganya, atau bahkan lawan-lawannya dengan bermacam rutenya, maka terjadilah ‘komunikasi’ dari bermacam imajinasi tersebut. Dengan melakukan cek-ricek lagi di ‘lapangan’ maka keputusan yang mak-nyus-pun akan semakin mendekat. Masa lalu-pun ‘dibuka’ lagi –karena memang tidak dihapus, dan bisa-bisa akan terhayati secara lain pula. Lain dari penghayatan yang taken for granted itu. Atau bisa juga sama, tetapi dengan ‘kekayaan-pandang’ yang lain.
Atau coba kita bayangkan, apa yang terjadi ketika potensi ‘kematian’ reputasi semakin diingkari? Atau ‘kematian’ kehormatan? Bukankah akan bisa jumawa: ‘aku toh sudah profesor, maka bisa semau-maunya, karena aku akan tetap ber-reputasi, aku tetap terhormat’. Atau juga ‘kematian’ sebuah bisnis, kebangkrutan misalnya, diingkari? Bisa ugal-ugalan. Bagi kaum neolib, keyakinan bahwa seseorang akan merawat sesuatu dengan tidak sepenuh hati jika itu bukan miliknya begitu terhayati secara mendalam. Makanya muncul bermacam privatisasi. Tetapi bukankah itu baru akan benar jika ‘kematian’ komitmen terus-menerus dirayakan? Bagaimana dengan ‘kematian’ masa lalu? Atau ‘sekarat’-nya masa lalu? Kalau di atas ditulis soal ‘menunda’ masa lalu itu jelas tidak dimaksudkan untuk merayakan ‘kematian’ masa lalu. Deretan ‘kematian-kematian’ di atas adalah jelas juga sebuah kemungkinan yang tidaklah mungkin diingkari. Sama persis dengan ketika manusia menghembuskan nafas terakhirnya. Tidak mungkin diingkari lagi.
Ketika kematian di depan hidung, seperti sudah disebut di atas, maka waktunya sudah bukan lagi ‘ranah’ business as usual. Inilah waktu yang bagi pengelola negara misalnya, waktu untuk membuat keputusan-keputusan penting. Atau kalau kita ‘balik’, ketika keputusan-keputusan penting itu harus dibuat dan ternyata dibuat secara ‘serampangan’ maka sebenarnya bisa kita raba ada yang sedang mengingkari kematian sebuah rejim sebagai sebuah kemungkinan. Bisa terjadi karena masalahnya adalah soal ‘buta kuasa’ itu bisa dengan mudah untuk meminggirkan kehidupan. Will to power itu bisa dengan mudah meminggirkan will to survive. Memang power yang dimaksud Nietzsche dalam hal ini artinya luas, tetapi dalam ranah politik bisa juga diartikan lebih sempit, kuasa dalam arti telanjangnya.
Dalam kondisi sosial dan teknisnya, ‘kediktatoran’ masa lalu ini telah banyak mengalami ‘inter-subyektifitas’-nya, dan itu adalah sangat baik. “Inter-subyektifitas’ ini bagaimanapun akan ‘menjinakkan’ bermacam sifat ‘memerintah’ dari masa lalu. Apalagi dalam era modus komunikasi seperti sekarang ini, kondisi sosial sebenarnya sudah sangat siap dengan bermacam upaya penguakan, pelurusan, atau apapun itu terkait dengan masa lalu. Demikian juga kondisi teknis yang sebenarnya sudah semakin berkembang kredibilitasnya, apalagi didukung sumber-sumber yang sudah bisa dibuka dan diakses seiring dengan berjalannya waktu. Yang jadi masalah sebenarnya adalah soal kondisi politisnya. Dan itu sudah bukan lagi soal ‘itikad baik’ saja. Ini adalah soal, katakanlah ‘keseimbangan’ antara will to power dan will to survive. Hanya dengan menunjukkan bahwa will to survive tidak dipinggirkan oleh will to power-lah maka kuasa masa lalu dalam ranah politik akan memberikan ‘latar-belakang’ yang produktif ketika ‘kediktatoran’ masa lalu itu perlahan ‘dijinakkan’ bersama-sama dalam satu hidup bersama.
Rejim yang korup dan semakin menjauh dari rasa demokrasi, jangan sekali-kali-lah berlagak atau bicara soal ‘pelurusan sejarah’ atau apapun itu mau disebut. Apapun yang mau dilurus-luruskan itu. Hasilnya pasti akan kontra-produktif karena akan terhayati oleh khalayak sebagai semata bablasannya ‘kediktatoran’ masa lalu saja. Karena korupsi dan tergerusnya demokrasi telah ditunjukkan dengan berdarah-darah lebih 20 tahun lalu sebagai persoalan utama yang menggerus potensi survive-nya republik. Hanya politik yang dikelola oleh ‘politisi otentik’-lah yang akan mampu melengkapi kondisi sosial dan kondisi teknis yang sudah berkembang dalam ‘mengelola’ masa lalu. Politisi berkarakter boneka, maling-rampok-ngunthet-an hanya akan ‘memainken’ masa lalu demi keuntungan mereka atau komplotannya saja. Tidak lebih dari itu. Dan republikpun serasa terus-menerus dalam genggaman kekuasaan ‘kediktatoran’ masa lalu saja, tidak putus-putusnya. Menjengkelkan. *** (03-11-2021)
[1] https://www.pergerakankebang
saan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/