www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-10-2021

Bapak Presiden yth, sesuai data bhw sjk 2015 - 2021 penyertaan modal negara (PMN) ke BUMN mencapai sktr Rp 400 trilyun (PMN tertinggi saat ini dari pemerintahan sblmnya). Jadi sebenarnya Bpk Presiden geram kepada siapa ?[1]

Apakah kemajuan AS sono di bagian akhir abad 19 dan seterusnya itu adalah semata buah dari ‘tangan-tangan tak terlihat’ yang ‘mengatur’ mekanisme pasar? Dari bagaimana sekolah-sekolah bisnis, sekolah-sekolah manajemen berkembang kita bisa melihat pula bahwa berkembangnya kekuatan AS sehingga menjadi super-power itu juga karena peran ‘tangan-tangan terlihat’: tangan-tangan yang menjulur dari kemampuan manajerial. Bagaimana spoils system yang diintrodusir oleh Presiden Andrew Jackson dan kemudian dihentikan di bagian akhir abad 19 mengindikasikan juga bagaimana pemahaman akan pentingnya manajemen yang mak-nyus dalam bermacam ranah hidup bersama. Dan kita bisa melihat pula bagaimana sekolah-sekolah manajemen itu kemudian berkembang, Lihat perkembangan sekolah yang kita kenal dengan memberikan gelar MBA itu. Bagaimana imajinasi pengelolaan sebuah bisnis, sebuah korporasi, sebuah organisasipun akhirnya juga berkembang. Buku-buku soal itu terus saja silih berganti hadir di rak-rak toko buku. Memang tidaklah selalu inovasi manajerial berasal dari sekolahan, seperti yang dikembangkan oleh Henry Ford itu misalnya. Yang mau dikatakan di sini adalah, bagaimanapun dinamika pasar sudah berkembang sedemikian rupa ketatnya dalam kompetisi. Jika ada pembedaan antara negara, pasar, dan masyarakat sipil, bagaimana dengan pengelolaan negara?

Bagi yang lama bergulat di lembaga swadaya masyarakat, atau sejenisnya, tentu juga diiringi oleh berkembangnya masyarakat sekitar beserta bermacam teori yang berusaha ‘menerangi’ perkembangan tersebut. Atau membuat prediksi. Macam-macam. Maka pertanyaan, sekali lagi, bagaimana dengan pengelolaan negara? Pembedaan negara, pasar, dan masyarakat sipil itu meski sifatnya imajinatif, tetapi kita bisa membayangkan bahwa pada dasarnya itu adalah soal kuasa juga. Soal relasi-relasi kuasa. Pembedaan itu juga sedikit banyak ‘mengakui’ bahwa negara, atau juga masyarakat sipil bagaimanapun juga masih mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi dinamika pasar. Demikian juga, pasti, sebaliknya. Atau katakanlah, negara tidak hanya merupakan entitas yang semata dipengaruhi oleh relasi-relasi kekuatan produksi di pasar. Negara harus juga berpikir dan bertindak bagaimana semestinya ‘pembagian kekayaan’ itu dapat terus mendekati satu bentuk keadilan. Pemenang Nobel di bidang ekonomi, Amartya Sen dan trio di tahun kemarin secara gamblang menunjukkan negara mesti berbuat sesuatu sehingga semakin banyak warga dapat mendapatkan kesempatan membangun kesejahteraannya melalui dinamika pasar.

Tentu ranah pasar dan negara banyak sekali bedanya. Orang yang sukses dalam pasar, atau juga misalnya sukses dalam perang, belum tentu ia akan sukses pula jika mengelola negara. Dalam pasar misalnya, pengejaran kepentingan diri adalah terpenting, bahkan ada yang mengajukan klaim bahwa itulah satu-satunya tindakan rasional. Bahkan bagi kaum neolib tidak hanya di pasar, tetapi di semua segi kehidupan. Amartya Sen telah mengajukan kritik jitu terhadap klaim seperti ini, Sen mengangkat soal komitmen. Meminjam kritik Sen ini, maka kita bisa mengembangkan imajinasi, ketika diyakini negara juga akan berperan dalam soal ‘pembagian kekayaan’ maka tidak ada hal lain sebagai penyangga utamanya selain: komitmen. Penyangga utama itu merupakan syarat mutlak, tetapi jelas juga belum mencukupi. Perlu kondisi yang mencukupi, kemampuan dalam ranah ‘kritik-otokritik’ yang efektif. Efektif karena ada dalam bayang-bayang sebuah ‘sangsi’, apapun itu bentuknya. Atau ia harus berani menghadapi hadirnya bermacam si-‘devil’s advocate’, si-‘advocatus diaboli’. Jangan sekali-kali gegayaan bilang ‘kangen di demo’ tetapi ketika para demonstran datang malah ngacir tak tahu malu. Berulang-ulang, lupa apa yang pernah dikatakan dulu. *** (22-10-2021)

 

[1] https://twitter.com/msaid_didu

/status/1450043253437304835. Cuitan Said Didu ini mengomentari berita dengan judul: BUMN Sakit Disuntik PMN, Jokowi Geram: Maaf, Terlalu Enak Sekali (Kompas.com, 16 Oktober 2021)

'Tangan-tangan Terlihat'