03-09-2021
Jika kita membayangkan pembedaan antara negara, pasar, dan masyarakat sipil maka itu bukanlah pembedaan yang tenang-tenang saja. Karena pada dasarnya di masing-masing menyimpan kekuatan. Kekuatan yang dari perjalanan sejarah manusia akan selalu dalam ketegangan. Awal-awal Reformasi banyak diskusi, terbitan yang membahas soal masyarakat sipil. Nampaknya apa yang terjadi bertahun-tahun di jaman old membuat banyak pihak merasa perlu adanya penguatan masyarakat sipil ini. Masyarakat sipil yang salah satu pilarnya adalah ke-suka-rela-an, dan posisinya adalah non-pemerintah dan non-profit. Ada yang berpendapat pula bahwa masyarakat sipil itu adalah ruang antara keluarga dan negara. Pilar atau kekuatan masyarakat sipil selain sifat ke-suka-rela-annya adalah ia akan menjadi tempat utama dalam pengembangan etika dan nilai-nilai hidup bersama.
Ada masanya masyarakat sipil menjadi ‘kabur’ karena disesaki oleh organisasi-organisasi yang demen pakai seragam militer itu. Macam-macam penampakannya. Sangar-sangar. Terlebih di jaman old. Perlu ditegaskan di sini, masyarakat sipil dalam pengertiannya tidaklah berarti ‘bukan militer’. Sebenarnya tidaklah ada larangan ke-demen-an terhadap seragam militer itu, silahkan saja, hanya saja dalam praktek menjadi tidak mudah untuk menahan diri, terlebih jika ‘terorganisir’, supaya kemudian tidak menjadi ke-militer-militer-an habis-habisan. Sebab bagaimanapun, ruang ke-militer-an, atau apa saja yang mempunyai sifat ‘memaksa’ itu semestinya ada di ranah negara, bukan di ranah masyarakat sipil. Jadi kalau boleh menyarankan, carilah seragam lain yang tidak terlalu dekat dengan corak ke-militer-an itu. Terlalu sangar-lah. Masih banyak pilihan, macam-macam. Atau sekalian saja masuk mendaftarkan diri untuk masuk tentara. Tetapi di jaman old sebenarnya bukanlah soal seragam semata, tetapi adalah soal ko-optasi kekuatan negara-lah masalahnya. ‘Diambil-alih’ untuk tujuan-tujuan lain di luar tujuan dinamika di masyarakat sipil. Terlebih jika kemudian bayang-bayang ‘profit’ dalam bermacam bentuknya juga kemudian lekat menempel. Tak jauh dengan jaman now sebenarnya, hanya saja bukan baju para-militer yang dominan, tetapi yang mengatas-namakan relawan-relawan itu, terutama relawan-relawan yang tidak bubar-bubar juga setelah pemilihan selesai. Kayak partai tetapi tidak mau disebut partai. Deja-vu? Belum lagi bicara soal buzzerRp dan surveiRp itu.
Maka memang jalan penguatan masyarakat sipil ini bukanlah jalan yang mulus-mulus saja, ia akan menapak jalan penuh rintangan: pelemahan masyarakat sipil dari arah lainnya. Apalagi jika ada dalam komunitas yang disbut Hofstede mempunya power distance tinggi. Komunitas yang kebanyakan warganyaa melihat kekuasaan itu sebagai yang ‘putih-suci’. Sedikit saja diberi ‘gula-gula’ oleh kekuasaan, bisa menjadi mudah timbul keretakan. Maka judul tulisan adalah, ‘Katakan Muak Kalau Memang Sudah Muak!!’ Bukan maunya serba kasar, tetapi untuk menyadarkan bersama bahwa masyarakat sipil, atau katakanlah masyarakat luas-pun bisa dan mampu bicara ketika etika hidup bersama, ketika nilai-nilai hidup bersama terasa sedang diacak-acak, sedang diobok-obok oleh laku-laku mbèlgèdès, terutama di ranah negara. Dan juga sebenarnya, di ranah ‘pasar’. Apalagi yang disebut ‘masyarakat luas’ ini selalu dituntut untuk ‘taat bayar pajak’ oleh negara.
Apa salah satu ‘kesibukan-utama’ dari rejim monarki, tirani, aristokrasi, dan oligarki? Di luar kesibukan utama ‘menikmati segala keistimewaan’, kesibukan lainnya adalah soal mengendalikan ‘yang banyak’ itu. ‘Sisa’-nya, di luar mereka yang memperoleh bermacam keistimewaan dalam rejim monarki, tirani, aristokrasi, dan oligarki itu. Maka jika msyarakat sipil, jika masyarakat luas banyak diam-nya, bukannya tidak mungkin rejim akan bergeser. Maka, ‘katakan muak kalau memang sudah muak!!’ Misalnya, berapa jumlahnya pimpinan KPK itu? Berapa jumlah penduduk republik? Dan bagaimana si-pelanggar etika itu akan menjadi pilar yang kokoh dalam penegakan hukum? Satu contoh saja diantara bermacam peristiwa yang mbèlgèdès itu. Orang sono mungkin akan bilang enough is enough. Kita di republik, mungkin bisa mulai dengan ‘katakan muak kalau memang sudah muak!!’ Intinya, jangan sungkan-sungkan lagi. *** (03-09-2021)